Sesampai di kantor, aku meneguk kopi dan berniat menyalakan sebatang rokok seperti kebiasaan orang-orang disini. Lalu aku lupa kalau aku tidak merokok, sungguh. Dan emosi yang masih belum terkuras sejak kejadian Subuh itu, aku lampiaskan pada bos subkon ini, hahaha. Dengan nada yang terlalu tegas dan lugas , karakter yang selama ini tidak pernah aku keluarkan, aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuknya agar ia mengumpulkan dengan segera data yang kuminta. Tak lama, ia datang dan data terkumpul dalam waktu hitungan jam saja. Hehehe.
Sesaat setelah data terkumpul, membajirlah tugas-tugas lain yang harus diselesaikan pada hari Minggu dan Senin. Sejenak mata melihat kalender. Bukankah itu hari libur? Hahaha. Kantor apa yang tidak merayakan Natal? Bukan aku merayakan, setidaknya aku menghargai keberadaan hari itu.
Mataku terasa berat dan kantung mata yang menolak pulang tidak dapat disembunyikan dari pandangan tiap orang yang ada disini. Pertanyaan datang dan pergi. Kujawab bahwa semalam aku kelilipan gajah.
Hari ini terasa seperti hari pembunuhanku. I mean it. Secara fisik dan mental, aku sendirian. Semua temanku tidak berada di kota ini. Semua pekerjaan tetiba datang dan berdesakan ingin diselesaikan. Semua telepon memohonku menyelesaikan pekerjaan tadi. Dan hatiku butuh oksigen tambahan untuk sekedar bernafas. Aku ingin tertawa lepas. Tapi mulutku terkatup. Aku lapar tapi aku mual untuk menyantap makanan. Aku ingin tidur tetapi mataku akan melebar tanpa kendali. Aku ingin pulang tapi aku takut sendirian. Aku takut sendirian, karena aku sedang patah hati.
Aku tidak mampu mengendalikan patah hatiku sendiri. Saat sudah waktunya ia datang, ia akan datang begitu saja. Dan inilah rasanya. Saat aku rasa dunia sedang gempa menyambut tsunami , ternyata itu saja tak cukup karena bumi berubah mencair demi menenggelamkan aku. Semesta sedang menjadi koloni untuk bersatu mencoba kekuatan kakiku.
Kuatkah aku? Tentu saja. Kalau tidak, aku sudah melangkahkan kakiku menuju stasiun atau terminal untuk kembali ke kotaku dan menangis di pangkuan nenekku. Cengeng? Ternyata tidak. Aku tidak membaginya kecuali kedalam blog biruku ini. Untuk apa aku merasa kehilangan? Karena aku pernah merasa memiliki.
Hari ini aku sedang diuji oleh semesta. Koloni percobaan yang mungkin bisa membuatku menguat, atau justru terbunuh. Aku ingin sekali makan. Tapi perutku bergolak. Aku ingin sekali tidur karena badanku demam, tapi mataku tak mau terpejam, dan aku belum bisa menghadapi kesendirian yang menusuk di dalam kamarku yang dingin.
Mungkin aku akan terus membuka mataku. Menjelajah kota yang panas ini, mengangkat telepon pekerjaan, menatap layar laptop hingga pagi menjelang,dan kembali bekerja seperti semula.
Hati yang patah mungkin akan disembuhkan oleh waktu, seperti dahulu. Aku nyaris kehilangan harapanku untuk menemukan siapapun yang peduli padaku. Aku pun tak mungkin menceritakan semua yang terjadi sejak Subuh tadi hingga saat ini kepada ibu atau bapakku. Aku tidak ingin menambah kerut dahi mereka, atau menambah uban di rambut mereka yang sudah memutih sebagian. Aku ingin memuntahkan segalanya, tapi entah kepada siapa, selain kepada Dia tempatku bersujud. Karena ketikan di keyboard saja tak cukup untuk menampung tangisanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar