Jakarta is not a city, it is a massive collection of villages, with streaks of sky scrapers and busy thoroughfares slicing through them. Seen from above, Jakarta is a billion little red roofed houses crammed together with tiny little lanes running in and amongst them. Here and there are the massive malls, apartment blocks and business districts that keep the city humming. The rich and the poor rub shoulders and share the same spaces; businessmen step from BMWs and buy fried bananas from street vendors while motorcycle taxi drivers zip off with stock brokers on the back.
Beuh, gila banget definisi Jakarta menurut Wall Street tempat kursus bahasa Inggris di Jakarta itu. Pantesan juga si Justin Bibir kasih istilah random buat negara ini, ya karena si Bibir kebetulan cuma liat Jakarta yang emang tampak random, mau dibela pake bambu runcing juga. Kayaknya buat WS ini, Jakarta itu bener-bener kota yang membiarkan begitu saja pertumbuhan berat badannya yah. Semacam wanita atau pria baya yang tidak lagi peduli kadar kolesterol dan gulanya, membiarkan rambutnya tumbuh seperti semak-semak dan meski punya gelar sarjana, ia tak ingin memperhatikan berat badannya. Kaya gitu ga sih Jakarta?
Massive villages,itu Jakarta, tapi semua orang memang seakan mencari makan disana. Apapun dikerjakan, mulai dari pemulung sampai pembunuh. Siapapun yang bisa survive di Jakarta konon bisa survive di kota manapun di dunia, kecuali Mumbai India. Yaaa Mumbai...entah gimana sinisnya Wall Street kalau disuruh mendefinisikan Mumbai.
Tapi sejelek-jeleknya orang asing mendefinisikan Jakarta, ibukota negara ini tetap yang hmmmm..harus diakui, menjadi tempat untuk mencari rejekiku.
Tidak ada pemerataan pekerjaan di negara ini membuat tumpuan satu-satunya ya di Jakarta. Kalau memang berhasil disana, andai pulang ke desa pun pasti membawa sesuatu untuk membangun desanya, andai penghuni Jakarta mau pulang ke desa. Tapi kalau sukses di desa belum tentu di Jakarta bisa mujur.
Demikian. Udah dulu ya, si pacar telfon..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar