Ini cerita Rakib. Coba pikirkan ya,bagi yang di Jakarta. Bangun harus sepagi mungkin,sholat Subuh dengan gerakan cepat,menyesal menyayangkan sedikit mengutuk kenapa malam cepat berlalu dan tidurnya tak terasa,lalu menaiki motor,memanaskan mesin mobil atau berlari ke halte busway. Kemudian terjebak macet. Mengumpat apalagi kalau ditambah hujan,ban bocor atau busway penuh sesak seperti biasa. Tidak ada manusia mengucap syukur dan membuat malaikat Rakib nganggur di sebelah kanan dan malaikat Atid sibuk nyatet umpatan disebelah kiri sampai-sampai kertas dan penanya habis. Mereka mungkin geleng-geleng kepala melihat manusia.
Lalu sesampainya di kantor, pekerjaan menanti. Ya harus dikerjakan demi perut. Dan demi perut anak-anak yang dihasilkan dari kegiatan percintaan,serta istri yang dulunya amat dikagumi,dan saat ini tampak sebagai kewajiban. Apalagi hal yang bisa disyukuri didalam tekanan seperti ini.
Saat jam istirahat tiba, makan siang didepan laptop atau jalan ke warteg sebelah kantor. Masih dengan menatap layar android, membuka situs berita, dan membaca berita terbaru tentang korupsi pejabat. Haha, banjir umpatan lagi,sementara malaikat Rakib jobless. Ia khawatir,Allah akan memecatnya kalau keadaan terus begini.
Jam sore mata memberat. Kopi menjadi santapan,dan didalam perkumpulan ngopi sore itu kegiatannya adalah umpatan pada keadaan. Mengumpat tapi beramai-ramai begitu maksudnya. Kembali,malaikat Rakib benar-benar khawatir. Surat teguran karena menganggur pasti akan segera diterimanya.
Malam menanjak. Buku amal harus segera dikumpulkan,Rakib melamun,menunggu keajaiban. Keningnya berkerut dan ia siap jika harus melepas jabatan sebagai malaikat pencatat amal baik. Ia juga bingung mengapa diantara jutaan manusia tidak ada yang berbuat baik. Sudah waktunya Rakib khawatir.
Ia ikut menumpang busway. Sesuatu nampak bersinar dalam busway. Oh sinar itu berasal dari seorang bapak yang menawarkan tempat duduk ke seorang ibu yang kerepotan membawa tas belanja. Ibu itu berucap terima kasih, kembali cahaya kedua muncul. Saat Rakib turun dari busway cahaya ketiga muncul. Dari penjaja rokok yang mengucap "makasih" sambil tersenyum pada calon penumpang kereta yang membeli rokoknya. Ah tapi itu belum cukup, pikir Rakib. Tetap saja buku amal yang masih terlalu kosong ini harus dikumpulkan malam ini. Ia kembali melayang dan dengan berat hati hendak menerbangkan buku amal yang ia bawa seharian dari Subuh hingga saat ini.
Namun tiba-tiba segumpalan besar cahaya ada dibawah sana,kemudian muncul dititik-titik lain,menyusul di banyak kawasan perumahan kecil. Rakib turun lagi,ia tak percaya pandangan matanya sendiri.Ia takut itu fatamorgana.
Ternyata tidak,itu adalah cahaya kebaikan. Cahaya yang harus ia catat. Buru-buru ia mencatat sumber cahaya dalam buku amalnya. Saat lembaran itu habis,ia mendapati buku baru lagi,dan kembali buru-buru mencatat,terus mencatat para sumber cahaya. Ia kemudian membaca sumber cahaya itu dan dari mana bisa mengeluarkan cahaya di malam selarut ini.
Cahaya itu berasal dari orang-orang yang seharian tadi mengumpat,di jalanan,di kantor,di rumah,namun pada malam hari menjelang tidur, mereka bersujud dan berucap "Alhamdulillah".
Rakib tersenyum dan melayang, mengumpulkan buku amalnya yang berat dan banyak. Ia tidak perlu khawatir akan dipecat. Manusia akan selalu berbuat kebaikan,walau sebiji kurma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar