Bosku mengetuk pensilnya yang baru saja diraut. Kalau sudah
begini,biasanya dia akan memanggil Yuni sang sekretaris dalam hitungan mundur.
Lima....empat....tiga...dua...satu.
“Yuniiiii”
Benar kan.
“Yuniii kemari, bawa kopiku”
“Ya bos”, jawab Yuni singkat seperti biasa.
“Kenapa kamu bisa salah lagi Emil?”
Nah sekarang giliran aku. Mataku tertunduk. Tidak berminat
melihat mata bosku yang sedang naik pitam. Omongannya akan setajam ujung pensil
yang selalu dirautnya kalau sedang marah.
“Saya sudah teliti sampai tiga kali bos”, jawabku hati-hati.
“Ya berarti tiga kali kerja kamu itu memang sudah salah. Mau
diulang sampai kiamat juga tetap salah, wong awalnya udah salah.”
Nah kan. Bahkan ia bicara soal kiamat.Memangnya ia tahu
kapan kiamat datang. Lagipula aku juga tidak akan bekerja disini sampai kiamat
tiba.
“Emil,kamu kebanyakan ngelamun, makanya kerja salah terus.”
“Maaf bos, biar saya revisi.”
“Ya pastinya harus kamu revisi, wong salah gini kok,udah
sana. Males aku lihat kamu.Dibayar tinggi tapi bisanya salah terus.”
Nah,sial lagi nih omelannya selalu begitu tiap pagi.
Entah mengapa bos selalu marah tiap pagi. Sampai aku
terpikir buat mengetik surat pengunduran diri. Yang sebetulnya itu kuharamkan
mengingat aku ingin pergi dari tempat ini dengan cara yang jantan dan saat aku
sedang berada di puncak prestasi.
Seminggu berlalu sejak bos terakhir kali mengomel. Belum ada
omelan berarti sepanjang sisa minggu itu. Agak aneh juga kalau diingat-ingat.
Ia jauh lebih sering marah beberapa hari setelah aku mengambil cuti menikah.
Dan lebih sering marah saat aku sudah mengambil cuti tahunanku untuk bulan
madu. Memang sih tidak ada hubungannya, Cuma aku mengingat waktu-waktunya.
“Emil, kemari”
“Ya bos”
“Setelah menikah, pekerjaanmu tidak sebagus saat kamu masih
melajang”
“Maaf bos, justru seingat saya,hasil kerja saya makin
produktif setelah menikah,maaf ini pendapat saya saja”
“Saya ini yang mengoreksi pekerjaan kamu, jadi saya yang
bisa menilai kamu produktif atau tidak”
“Ya bos”
“Istri kamu bekerja atau tidak?”
“Di rumah bos, rencananya kami ingin segera punya momongan,
jadi memang istri tidak perlu terlalu lelah bekerja”
“hmmmmm”
“Memang kenapa bos?”
“Mungkin itu yang bikin kamu susah konsentrasi , karena kamu
mikirin istri kamu terus”
“Ya maklum lah bos,namanya juga pengantin baru. Bos juga
gitu kan waktu menikah?”
“Ya tapi bisa profesional dong, mana waktu kerja mana waktu
ngelamun”
“Ya bos”
“Kamu lebih suka wanita yang gimana kalau di ranjang?”
“Waduh bos, malu saya ceritanya,ya biasa saja , ga ada yang
spesifik”
Aku heran dengan semua pertanyaan bosku tentang kegiatan
rumah tanggaku. Dan sampai beberapa minggu sesudahnya, ia lebih sering bertanya
bagaimana aku melakukan kewajiban rohani terhadap istriku daripada hasil
kerjaku.
Aku makin tidak konsentrasi berkat ulasan bosku. Awalnya
kupikir ia sedang ada masalah dalam rumah tangganya dan sedang butuh inspirasi
dari pengantin baru. Namun saat aku mencecar Yuni, kudapati bahwa rumah
tangganya baik-baik saja dan sedang mengurus visa perjalanan ke Eropa
sekeluarga.
Suatu pagi bosku datang lebih pagi dari aku, bahkan lebih
pagi dari Yuni yang biasa datang paling pagi di kantorku.
“Emil”
Aduh,kena omelan tajam lagi pikirku.
“Ya bos”
“Kesini sebentar”
“Ya bos”
Aku memasuki ruangan bosku sembari menunduk. Segan karena
mungkin aku melakukan kesalahan kesekian kali dan menyiapkan mental untuk
menerima semprotan paginya.
“Kalau yang model begini kamu suka ga?”
Aku mendongak dan mulutku menganga. Mataku tertumbuk pada
tubuh bosku yang hanya terbalut lingerie hitam minimal yang amat seksi.
Mendadak semua omelan setiap hari dari bosku mendapatkan alasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar