Senja mendulang sepi dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
Lelaki itu memelukku amat jauh. Menyentuh titik terdalam dari tangisku yang tak
dapat kutahan lagi. Aku bergelora, aku bergairah, aku marah dan aku sangat
ingin menikam jantungku sendiri. Setidaknya berusaha untuk menghentikan debar
yang selalu datang tiap saat. Bukan, bukan karena aku adalah raga yang diisi
nyawa dan jantungku seharusnya berdebar pertanda kehidupan. Tetapi karena
amarah yang tak sempat lagi diluapkan sebelum kedatangan berikutnya.
Aku ingin menghela napasku dan bertanya, bagaimana bila aku
berada diantara langit-langit Tuhan diatas sana atau dibawah sini. Aku pun tak
tahu dimana itu berada. Aku hanya berandai-andai dan membiarkan pikiranku
menerawang mengingat bahwa sebelum aku jatuh ke bumi, aku tak ingat aku pernah
ada diantara lelangit itu.
Lelaki itu memekik. Aku membiarkan ia merasa menjadi raja di
bumi. Setidaknya yang aku tahu ia takkan pernah jadi raja di kolong langit
milikNya. Biarkan saja dulu ia menjadi raja disini, dan aku adalah sang
permaisuri, bisa juga sang gundik, atau sang perempuan binal yang menyewakan
organ penjepit bagi para lelaki yang menyukai lendir tubuhku.
Kisah ini memang menjijikkan. Memang dahsyat seni olah tubuh
antara dua manusia itu. Tidak perlu banyak usaha untuk berlari kecil tiap pagi
di taman kota, manusia akan selalu menghasilkan keringat tiap kali ia bersedia
untuk memberikan geliat tubuhnya bagi manusia lain.
Kadang aku tak mengerti mengapa orang begitu sulit menjaga
cinta mereka. Aku mencintai manusia lain, dalam versiku. Aku mencintai ibuku.
Aku mencintainya dengan cara memberikan semua yang ia inginkan. Aku cium tangan
dan pipinya yang mulai menua. Aku memberinya bingkisan yang kurasa ia suka, aku
mempersembahkan baginya karir yang ia ingin aku jalankan. Aku ingin berbakti pada ibuku dan itulah yang
aku rasa aku bisa lakukan sejauh ini. Aku tahu aku takkan pernah mampu membalas
jasanya karena telah memelukku selama 9 bulan setiap detiknya. Kemudian ia mengejan
dan mengeluarkan banyak darah dan nyawanya hampir terlepas dari raganya yang
rapuh demi aku. Lalu dengan segala upayanya, ia bekerja keras mendapatkan uang
demi membesarkan aku menjadi seperti sekarang. Aku tahu aku takkan bisa
membantah apapun tentang itu dan memang tak ingin. Maka aku hanya bisa mencoba
menjadi anak yang selalu mengangguk untuknya. Juga bapakku. Bapakku yang dulu
pernah meneror ibuku dengan jiwanya yang labil dan pemarah. Bapakku yang
menyayangi aku dengan cara memaksaku belajar keras hingga aku menjadi lebih
pintar dari teman-teman sekelasku. Bapakku yang rela berbuat apapun demi aku.
Maka aku juga mencintainya karena itu. Aku menikah karena bapakku. Dan itulah
yang bisa kuperbuat baginya. Meski semua jasa kedua orangtuaku tadi takkan
pernah mungkin kubalas meski dengan darahku sendiri.
Disinilah aku. Amarah belasan tahun terpendam dalam sekali
teriak. Setidaknya aku selalu punya alasan berteriak saat aku bergumul dengan
manusia lain. Orang takkan menyalahkan aku saat aku berteriak. Bayangkan kalau
aku berteriak saat aku di pantai atau di gunung. Semua orang akan tahu bahwa
aku sedang tertekan. Dan bukan itu yang ingin kutunjukkan pada dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar