Farewell. Hari Senin ini sungguh biru, dalam arti non literal. Saya baru saja berhasil membuka email kantor, dan membaca dua farewell letters. Oh please, should I read it? Farewell letters terasa amat sedih dibaca karena keduanya berasal dari dua teman baik saya saat <a href="sumerep.wordpress.com">dua minggu pelatihan transmisi di Shenzhen Agustus tahun lalu</a>. Surat pertama adalah dari Faizan, pria berhidung mancung dari Pakistan dan kemudian dari Ivan, pria Uganda yang fasih berbahasa mandarin.
Somehow, untuk alasan yang tak saya pahami, terasa sedih untuk melihat perpisahan yang bersanding dengan kenangan waktu kami bersama.
Saat di daratan Tiongkok yang sangat jauh dari area internasional Cina, kami berhubungan layaknya saudara. Bahkan kami lupa dengan bahasa ibu masing-masing. Selama dua minggu bersama, kami sepakat tidak boleh terpisah karena tidak ada satupun dari kami yang memahami huruf kanji Cina. Selain itu, warga Shenzhen mayoritas tidak berbahasa Inggris. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya berada di negeri yang tanpa huruf alphabet dan hanya menghafal kelokan jalan untuk bisa kembali pulang ke hotel?
Saat itu kami bermalam di Hotel Mapple Leaf. Jauh dari kantor pusat kantor saya yang berada di Dameisha, sementara Maple Leaf ada di distrik Nanshan. Saya bersama tujuh orang asing lainnya menghabiskan hari di area Shenzhen. Mereka semua adalah para pejalan kaki yang tangguh, kecuali saya. Mereka masih sangat bugar saat kami telah berjalan kaki selama tiga jam di area Windows of the World , semacam taman mini internasional yang luasnya entah berapa hektar.
Saya bersama Faizan adalah muslim, saat itu adalah waktu Ramadhan. Setiap hari pada jam 7.30 malam, yang waktu itu masih cukup terang di Shenzhen, kami berkelana mencari resto muslim yang amat langka. Pada sebuah senja, kami menemukan resto muslim yang murah meriah. Karena tidak satupun dari kami yang memahami tulisan kanji, sementara para penjual tidak bisa berbahasa inggris, jadilah kami menebak apa yang kami makan. Dan terhidanglah semangkok nasi mengepul yang disiram dengan telur setengah matang yang dicampur tomat segar yang meleleh. Sepuluh ribu rupiah dan saya kenyang.
Sementara bersama Ivan adalah kenangan tentang kebaikan hatinya. Ia pria berkulit hitam yang tingginya sekira dua meter dan pernah menghabiskan masa kuliah di Cina sekitar 5 tahun, meski begitu, ia selalu gagal membaca kanji. Ia cukup baik hati dengan menemani saya merambah pasar elektronik Cina hanya untuk membeli sebuah MP5 player untuk adik dan bapak. Selama tiga jam kami berjalan menyusuri pasar itu, ia selalu berhenti di tiap kios, untuk menanyakan dan menawar barang yang saya cari. Ia juga ikut menemani kami kembali ke Hongkong untuk membantu menterjemahkan sang sopir Cina yang mengantar kami.
Dengan dua pria baik hati tadi, bukankah akan amat sulit untuk membayangkan perpisahan? Meski sebenarnya kami telah berpisah berbulan silam saat itu, dan berjanji untuk saling bertemu lagi meski itu kami tahu nyaris mustahil. Perpisahan waktu itu amat mengharukan, entah mengapa terasa berat untuk pergi bahkan hingga hari ini. Dan kedua pria beda bangsa tadi sudah benar-benar pergi, dari sebuah perusahaan yang mempertemukan kami, dan tidak tahu momentum apalagi yang akan membawa kami kembali.
Saya cukup mengenang saat dua minggu yang menyenangkan itu. Meski kadang saya kesepian karena terasa jauh dari ras saya, tapi mereka seperti keluarga disana.
Bye Izan and Ivan..
For reminder :
muhammadfaizan24@hotmail.com" or "mfaizan08@gmail.
waako.ivan@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar