Mungkin aku kini tahu apa rasanya menjadi pelacur. Penjaja raga. Saat raganya bergerak menggelinjang kesana kemari, mungkin jiwanya sedang melayang tak bersedia menyaksikan. Kemungkinan besar jiwanya yang percaya mereka sedang ditemani malaikat, terlalu malu menyaksikan raganya yang tengah liar.
Mungkin jiwanya justru sedang bersimpuh menangis memohon pengampunan sang penguasa Semesta, pemilik Rahim, penggenggam Rahman. Jiwanya melayang diantara titik titik bintang dan binar sayap malaikat, mengangkasa menuju sang Kasih.
Tak satupun jiwa yang menginginkan perpisahan dengan raga, dalam cara seliar itu. Jiwa yang tak selaras lagi dengan kelakuan raga, ibarat sebagai pelacur.
Jiwa itu menangis, memohon pertaubatan. Memohon kasih sayang. Memohon agar ia tak ditinggalkan sendiri di semesta. Itu mengapa bayi menangis saat memasuki dunia. Selubung kasih sayangnya hilang , digantikan atmosfer dunia yang memungkinkannya menjadi pelacur.
Andai ia tahu. Ia tak ditinggalkan begitu saja. Ia ditemani malaikat yang tak bisa ia raba tapi seharusnya bisa ia rasa. Malaikat yang tersenyum. Dengan binar sayapnya yang tak terbayangkan.
Ia tak sendiri, sebenarnya. Karena bagaimanapun, ia sedang ada didalam Sang Rahim.
Ia bisa melangitkan doanya. Yang ia berlutut lalu menengadahkan tangan memohon. Tidak memohon kemudahan. Ia menengadahkan tangan untuk menerima kekuatan, untuk tidak menyerah. Termasuk ketika ia sedang melacurkan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar