Sabtu, 21 Juli 2012

Talking To The Moon

 




At night when the stars
light up my room
I sit by myself

Talking to the Moon


 What life is? 
Semesta yang berisi trilyunan entitas, yang masing-masing
berbenang untuk terhubung pada sebuah pengait, yang memastikan
semesta berotasi dan berevolusi sehingga kehangatan gerakannya menjaga kehidupan entitas itu?

Aku menjadi semacam titik kecil yang jika komet Halley memperhatikanku,
aku sedang bergerak acak,meski benang terhubung ke pengait yang sama dengan milik Halley.

Bagaimana jika entitas tadi diberi jiwa untuk bisa merasakan gerakan benang dan pengait?
Untuk ia bisa merasakan kemana ia sedang digerakkan dan bagaimana benangnya bergerak. Lalu
dari gerakan benangnya, ia bertemu entitas lain. Sang pengait memungkinkannya untuk merasakan
si benang dan entitasnya berinteraksi dengan yang lain.

Bagaimana jika jiwa tadi juga punya sebuah hati yang digunakan sebagai penghubung langsung antara
pengait dan dirinya. Hati, sebuah perwakilan pengait untuk tiap entitas,kemudian memberitahu
jiwa kemana benang sedang bergerak dan bagaimana pergerakannya, agat tak bertumbukan dengan entitas
atau terlilit benang lain di semesta.

Bagaimana jika jiwa juga diberi perwakilan pengait selain hati, yaitu akal?
Seharusnya akal dan hati bergerak seirama untuk menentukan pergerakan benang. Seharusnya tidak
pernah ada tumbukan antar entitas atau lilitan benang dalam semesta jika keduanya beriringan sejalan.

Dan itulah yang sang pengait maksudkan, jiwa memiliki kewenangan untuk menyelaraskan hati dan akal.
Jika mereka tak punya kewenangan tadi, maka jiwa tak ada bedanya dengan boneka yang sang pengait mainkan.
Boneka yang tak bernyawa. Dan nyaris tak ada manfaatnya hingga semesta tercipta.

Dan jika saat ini, aku sebagai titik mungil entitas, sedang mencoba menyelaraskan hati
dan akalku, kurasa ini adalah bagian tersulit menjadi jiwa.

Keduanya nyaris bertubrukan bahkan dalam mangkok jiwaku. Bagaimana mungkin benangku akan
berjalan baik sesuai rotasi sang pengait. Bagaimana mungkin entitasku tidak berbenturan dengan yang
lain di semesta ketika benangku juga terlilit entah berapa benang yang lain yang sedang berjalan.

Mungkin ini yang dikatakan sang pengait sebagai kekacauan jiwa. Bukan sakit jiwa.
Tiap jiwa yang sedang kacau juga punya wewenang yang sama kuatnya untuk membereskan apa yang
telah ia kerjakan.

Masa lalu adalah mangkuk raksasa, yang tiap entitas punya mangkuk mereka masing-masing.
Dan mangkuk itu juga punya irisan dengan mangkuk entitas lain. Mereka saling mempengaruhi.
Mangkukku mungkin beririsan dengan ribuan mangkuk jiwa lain dalam luas yang berbeda-beda.
Keluargaku mungkin adalah pemilik irisan terbesar dari mangkuk masa lalukku.
Teman-temanku adalah pemilik irisan terbesar kedua setelahnya. Dan mangkuk tadi merebusku
untuk melemparku menjadi saat ini. Benang yang aku miliki di masa lalu, tidak pernah benar-benar
terputus. Ia hanya bertambah panjang. Sesuai dengan yang sudah kulewati.

Benturan dalam entitasku sendiri sudah berlangsung amat lama. Dan bisa jadi waktu yang dibutuhkan
untuk mengatur kembali irama hati dan akalku juga sepadan.
Aku tahu aku harus melerai keduanya. Entah mana yang harus aku dahulukan. Bisa jadi aku dahulukan
hatiku dan mengabaikan akalku. Dimana kemungkinan ini, seperti aku berbicara dengan bulan.
Aku nyaman dan entitasku hancur, meski jiwaku tidak. Ketika aku memilih sebaliknya, bisa jadi entitasku
hidup subur, namun jiwaku mati.

Pilihan. Entitas berjiwa juga punya wewenang untuk memilih. Wewenang yang hanya boleh diambil
dalam satu syarat, jika hati dan akal selaras. JIka tidak, kemungkinan besar kenekatan
mengambil pilihan berakhir bunuh diri.

Bagaimana menyelaraskan pemberian sang pengait ini sehingga aku tahu kemana benangku akan
dan bagaimana digerakkan. Bagaimana membuat kedua pemberian tadi beriringan.

Bagaimana agar akhirnya aku bisa menemukan pilihan,  memilihnya, dan tetap terjaga entitas berjiwaku.

Tuhanku, sang pengait, aku memohon kekuatanMu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar