Kamis, 06 November 2014

Hari Ini

Akhir 2014.

Duduk didalam sebuah kubikel yang nyaman, kopi mengepul, roti hangat tersaji, tapi tengkukku berat.
Aku lupa bahwa perlahan aku melupakan diriku sendiri. Bukan, bukan tentang pergi ke salon merawat diri, membeli baju, menghias diri, mematut wajah. Bukan soal yang seperti diistilahkan banyak orang dalam frasa "me-time".
Kurasa aku sendiri yang sudah menghilangkan waktu untuk diriku sendiri, dan sibuk entah oleh apa. Setiap pagi aku mencoba menghibur hatiku sendiri mengatakan bahwa hari ini aku akan mulai mengejar mimpiku lagi dan tidak akan terjebak melakukan hal-hal yang selalu kulakukan hanya untuk menjauhkan aku dari mimpiku.
Hari ini air mataku menetes mengingat betapa jahatnya aku pada diriku sendiri. Betapa kerasnya aku, dan bukan hidupku, pada diriku sendiri. Mengingat betapa mudahnya aku melupakan apa yang sudah menjadi titipan Tuhan untukku setelah usaha yang susah payah dalam kelahiranku dari rahim ibuku.

Betapa mudahnya aku melupakan diriku sendiri.

Aku mengingat dulu saat aku hampir menuju kelulusanku dari kampusku tersayang UII. Aku duduk di rumput bandara, melihat pesawat beterbangan melintas, dan terbersit doa permohonan yang sepertinya langsung ditangkap malaikat untuk disampaikan kepada Raja. Doa yang kemudian Dia kabulkan tak lama kemudian. Untuk menerbangi Indonesia. Kini Raja yang sama mengabulkan doaku bertahun lalu saat aku masih terjebak di hutan sawit di pedalaman Jambi , agar Ia membukakan jalanku duduk di kubikelku sekarang, dan lagi-lagi Ia mengabulkan itu.

Siang ini aku merasa aku sudah sangat jahat karena aku mengucap keinginan yang bahkan aku tak tahu akan seperti apa. Seperti anak kecil yang merengek meminta permen tanpa ia paham, permen itu enak tapi akan membuatnya menderita dalam batuk. Aku mulai berhenti meminta, karena aku tak tahu apa yang terbaik bagiku. Karena rasanya semua jalan justru menjauhkan aku dari diriku sendiri.

Hari ini aku menyadari jarak yang semakin lebar antara aku dan diriku itu. Semakin lebar jarak, semakin aku sedih, dan semakin aku depresi. Seperti diriku itu adalah sahabat terbaikku, tempat aku bercerita, dan saat ini ia jauh disana. Aku tahu aku harus melepaskan semua yang membuatku berjarak. Tapi aku tak tahu aku harus mulai dari mana.

Aku hanya tahu bahwa aku harus mulai peduli pada impianku, pada bakatku, pada kemampuanku, pada diriku sendiri. Selama ini aku sadar, ia tak pernah dipercaya bahkan oleh aku sendiri. Selama ini aku lari dan tak pernah peduli apa yang sudah kulakukan sehingga kami bisa begitu jauh.

Dan aku baru sadar, saat aku sudah mulai sangat depresi saat itu aku sadar aku sudah mulai kehilangan diriku sendiri.

Dan aku takut. Aku takut aku sendirian saat menghadap Tuhan, dan Dia bertanya kemana diriku yang asli yang Dia berikan untukku. Dan aku menjawab, bahwa aku sudah kehilangan dia.

Aku ingin sekali memulai untuk membangun jembatan dan mengenyahkan jarak, meski aku tak tahu bagaimana.

Aku akan memulainya hari ini.