Rabu, 15 Februari 2012

Writer's Block : Nulis Ngacak

Oh well, judulnya berlebihan. Writer's Block, berasa aku penulis dan sedang mengalami kebuntuan ide. Hahaha...Akhir-akhir ini sedang enggak suka banget sama iklannya XL yang tokoh utamanya si Marwan dan Mawar itu loh. Awalnya dimulai dari bapak Mawar yang nantang Marwan buat nyediain sejuta mawar kalau mau beneran jadi pacar anaknya. Eh taunya si Marwan ini adalah kutu online. Alhasil temen-temen maya dia ngumpulin donasi buat bantu sumbang mawar ke Marwan. Bisa ditebak, Marwan berhasil ngumpulin sejuta bunga dan resmilah Marwan Mawar pacaran.
Enggak lama kemudian, Mawar marah sama Mawar entah kenapa. Eh lagi-lagi si Marwan berhasil ngumpulin solidaritas teman maya buat minta maaf ke Mawar. Oke, Mawar akhirnya memaafkan Marwan. Keduanya nampak berhubungan dengan amat sangat berle. BERLEBIHAN.
Bisa engga sih bikin iklan yang engga mendramatisir keadaan macam hubungannya Marwan Mawar tadi? Aku engga melihat ada unsur pendidikan (o-em-sorry-talkin-bout-this) buat yang nonton. Apakah aku atau pasangan aku bakal terinspirasi provide sejuta mawar? atau saat kita betengkar, trus salah satu dari kami curhat di twitter dan menyebar iba dari temen-temen maya buat bantu minta maaf? ENGGA KAN.
Seems kelamaan nonton TV Indo, bisa makin ga terdidik deh aku. Well, kemungkinan besar aku bakal ilangin tuh siaran waktu aku punya anak nanti. Masih jauh lebih mending nonton Unyil, atau Jejak Petualang, atau Panji Manusia Ular, atau Benu Bulo sekalian...

Well, nulis ngacak selesai.
Demikian.


Kamis, 09 Februari 2012

The Holstee Manifesto : Five Manifestos for Life

Pagi ini aku baca artikel menarik tentang keabsahan hidup. Beberapa waktu lalu aku 'mengganti' kacamataku dan aku jadi tertarik pada petualangan hidup. Mungkin bisa dibilang, hidup adalah perjalanan membabat hutan menuju puncak. (kayak lagu backsoundnya AFI Indosiar ga sih?hehehe).
OK, back to the article. Artikel itu adalah Lima Manifesto Kehidupan. Disebut The Holstee Manifesto.
This is your life, adalah kalimat pertamanya. Selanjutnya adalah ...






Okay, mungkin hidup memang tidak semudah apa yang tertulis mudah di poster diatas. But, kepikiran ga sih kalau sebenarnya hidup memang sebaiknya begitu? Be human.

So...will you? :)


Menjadi Jakarta

Magrib ini pulang sendirian. Melewati trotoar Mega Kuningan yang cenderung diramaikan karyawan pulang kantor. Aku warga Jogja dan hari ini aku masih belajar untuk menjadi Jakarta. Dimulai pada pagi hari yang riuh, aku membiasakan diri dengan suara kehidupan dalam gang didepan kamar kosku. Kemudian suara bayi dan balita menangis, para ibu menghardik, musik odong-odong menggema, dan percakapan para bapak meliuk diantaranya. Oke, bagi yang terbiasa hidup di area Jawa Tengah yang senyap, melodi pagi di gang Jakarta bisa menjadi pembunuh telinga. Dan aku ternyata terbiasa dengan melodi mereka. Kemudian turun satu lantai dari kamar kosku, akan kutemui jalanan gang yang sebenarnya. Jika gang didefinisikan sebagai jalanan kecil yang muat dilintasi manusia, maka gang di Jakarta adalah jenis yang luar biasa. Ia mampu dilintasi oleh orang, motor, penjual makanan pikul,dan gerobak mie ayam bakso. Dan ditengah-tengah lebar gang itu, ada anak-anak kecil bermain berlarian dan ada yang sempat main bola, dan tak lupa, orang-orang yang duduk di pinggiran gang sedang menyantap sarapan mereka tanpa mimik terusik sedikitpun.
Gang sangat dinamis, sekaligus menyimpan kenyataan hidup ibukota yang sebenarnya. Yang biasanya disembunyikan dengan amat sangat rapi oleh pemerintah pesolek dan pencari citra. Mereka sukses menyembunyikan got-got kotor yang mengendap dan tersumbat. Menyisakan aroma menyesakkan disepanjang jalanan gang. Got itu hanya ditutupi dan tanpa pernah disentuh untuk sekedar diusahakan untuk mengalir. Begitulah gang yang ada di dekat kosku. Setelahnya, tinggallah aku melangkah menuju sebuah bangunan bertingkat yang menjulang, mall Ambassador.
Mall yang berlokasi di Jalan Satrio ini terasa seperti ironi yang amat manis. Pahit tapi tidak ada yang terusik. Sepertinya semua warga Jakarta yang hidup dibelakang mall, yang notabene adalah gang, tidak merasa ada masalah dengan ironi didepan mata. Mall yang menutupi sebagian besar kekusutan ibukota, dan itu diterima dengan baik oleh warganya yang berdesakan hidup di belakangnya. Jakarta oh Jakarta.
Setelah menyeberangi Mall Ambassador, aku akan menemukan beberapa pengemis yang sedang memeluk bayi atau memainkan monyet bertopeng. Pengemis disini mungkin bukan sebenar-benarnya orang yang sudah tak berdaya apapun dan patut dikasihi. That's why pemkot DKI mengeluarkan peraturan larangan memberi uang pada pengemis, dan merekomendasikan bantuan disalurkan kepada badan sosial yang ada. Karena pengemis, bagi Jakarta, adalah profesi. Sama seperti sales, wartawan, tukang ojekm dan aku, engineer.
Aku pernah menyaksikan sendiri seorang pengemis berpakaian compang camping (Eh, mana ada pengemis bersetelan Channel?) sedang memainkan ponsel sementara satu tangannya tengadah meminta-minta. Ia duduk manis di jembatan penyeberangan depan Mid Plaza Jalan Sudirman. Oh la la...
Lalu sesampainya di kantor, aku akan mulai beradaptasi dengan situasi perkantoran a la Jakarta pada umumnya. Dinamis, riuh, berisik, sibuk, dizzy, hedon dan treadmill duniawi. Semerbak parfum beterbangan lepas ke udara AC kantor. Wanita-wanita usia muda berlalu lalang dalam balutan termodern seakan display toko busana pindah ke kantor. Dengan sepatu berhak tinggi yang membuat otot kaki berkemungkinan terkena varises. Dan para pria dalam setelan rapi atau serampangan dan mata merah. Hmmm, aku suka atmosfer ini. No time for being human. Human being is a shit here.
Seperti itulah kantor. Dimanapun di Jakarta. Nyaris sama. Atau mungkin memang atmosfer kapitalis yang membuat sebuah kantor bisa menjadi ladang tempur manusia.
Saat pertama dulu, aku tak bisa menerima kepindahanku ke ibukota. Aku begitu membenci kerumitan Jakarta. Keningku berkerut tak suka. Banyak hal aku tak setuju. Dan aku masih harus ada disana.
Dasarnya manusia, ia adalah makhluk dengan kemampuan adaptasi tinggi, disadari atau tidak. Roda alami itu juga berputar buatku. Aku pun akhirnya beradaptasi, dan terus belajar menjadi bagian dari Jakarta sampai hari ini.
Suatu hari aku berencana berdiam disini hingga waktu yang belum kubatasi. Aku merasa tak perlu memahami Jakarta. Ia sudah cukup rumit untuk dibuka polanya dan ditelusuri satu per satu. Ia sudah ada. Dan ia sudah terbentuk. Dan aku sedang bergerak didalamnya. Ia terlalu besar untukku, maka yang aku lakukan hanya menjaganya sejauh jangkauanku untuk membuatnya layak dan nyaman buatku. Lalu menarik nafas dalam-dalam. Aku melihat betapa banyak hal tersedia di Jakarta. Dan pilihan ada di tangan kita.

Oooh menjadi Jakarta...

Stop the Drama, Be a Student, Not A Victim

Usia saya 26 tahun. Dan sedikit mengenyam pengalaman soal menentukan pilihan. One day few years ago, saya duduk disebuah warung kopi di Jember. Saat itu saya sedang ada pekerjaan disini. Muka saya tertekuk -adalah murung dan menunduk- dan saya menyeruput kopi kapal api saya pelan-pelan. Sembari menghisap asap rokok dari para lelaki perokok disana. Seorang rekan saya, teknisi pria paruh baya -yang sekarang sudah pensiun-, bertanya tentang keadaan saya. Saat itu saya memang sedang lelah karena pekerjaan yang amat banyak bagi engineer baru macam saya. Dan saya menjawab "Saya cape" Ia paham dan diam. Ia telah mendengar seluruh kisah dan impian saya tepat pada saat saya masuk perusahaan ini.
Sejurus kemudian, ia berkata "Stop the drama, be a student, not a victim". Entah ia memungut darimana kalimat tadi, yang pasti saya tahu bahasa Inggrisnya bagus karena ia pernah bertualang ke banyak negara di Eropa sana, jadi tak kaget mendengarnya merangkai kalimat tadi.
Saya merenung dan selalu mengingatnya, bahkan hingga pagi ini. Saya dinasehati untuk berhenti membuat drama atas kejadian yang menimpa saya. Dan sekaligus saya diwajib-sadarkan menjadi murid atas apa yang sedang terjadi, alih-alih memposisikan diri jadi korban.
Saat itu saya memang seperti tak berdaya. Saya terhempas dari cita-cita saya. Menjadi jurnalis. Saya merasa hidup tidak adil saat mendapati teman-teman jurnalis saya sudah berkelana panjang lebar mengikuti gerakan bumi dan menuliskannya. Saya merasa apa yang saya tempuh tidak seharusnya saya tempuh dan nyaris memaksa kaki saya memutar haluan. Saya merasa marah karena kesempatan tertutup bukan atas kesalahan saya. Dan saya sadar saya harus menghentikan drama unjuk rasa dalam diri saya sendiri secepatnya.

Saat itu saya tahu saya harus membuat pilihan. Saya harus keluar dari apa yang sedang saya jalani, dan memulai yang saya ingin, bukan hanya dari titik nol, tapi dari titik minus karena saya tidak mendapat dukungan dari siapapun. S.I.A.P.A.P.U.N. Atau meneruskan langkah saya, dan percaya bahwa ini adalah garis yang Ia gambarkan maka saya akan melihat puncak yang indah suatu hari. Pilihan adalah sesimpel itu. Perjalanannya tidak.

Tidak ingin berlama-lama menjadi bintang drama yang membuat hidup semakin buram dan penuh amarah, saya memutuskan untuk meneruskan langkah saya. Apapun yang akan terjadi di sepanjang perjalanan ini, adalah karena saya telah memilih.

Ternyata menjalani kehidupan sebagai konsekuensi pilihan sendiri adalah bisa menjadi jebakan. Setelah memutuskan menghentikan drama diri sendiri, saya harus memilih menjadi korban atau murid dari hidup. Perbedaannya adalah, memilih merasai hidup sebagai korban awalnya memang segalanya terasa mudah. Dan enteng. Dan santai. Saya bisa berkata "Terserah deh"..atau "Ya wajar mereka bisa, kan mereka dapat kesempatan, saya sih disini aja"...atau "Wajar saya gagal, kan saya memang ga bisa"...atau "Sudahlah..."..semua ekspresi permisif yang terasa enteng dan terdengar pasrah. Itu adalah korban. Saya memakai label victim ini selama beberapa waktu kemudian, tepat setelah saya memutuskan menghentikan drama.

Saya salah.

Efek menjadi korban adalah aliran kosmik hidup yang makin kacau alih-alih berjalan seperti yang sudah -seakan- digariskan. Saya tidak bersemangat, dan makin muram. Dan tidak bisa menerima banyak hal. Dan makin marah. Dan makin gelisah. Hubungan dengan orang lain memburuk. Dan tidak fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Dan keuangan menjadi kacau karena galau. Dan banyak hal aneh lainnya.

Dan saya menemui rekan tua tadi. Juga didalam warung kopi. Kali ini di Cirebon. Saya bertanya padanya "Gimana dengan hidup yang bahagia?" katanya "Berhenti membuat drama"..Jawab saya "Saya berhenti membuat drama"..Ia bilang "Dan masih tidak bahagia?"..Saya mengangguk.

Setelah seruputan kopi ketiga, ia berkata "Karena kamu ga mau belajar setiap harinya. Mata kamu terpusat di satu hari itu, dan tidak bisa melihat hari-hari kedepan karena ditutupi oleh rasa kecewa kamu pada dunia"

Cuma itu.

Jadi karena saya telah memposisikan diri sebagai korban tanpa sadar. Dan menolak menjadi murid. Maka saya tidak bisa melihat apapun. Korban adalah orang yang lemah dan patut ditolong. Korban bisa saja meninggal di tempat. Korban bisa saja kehilangan dirinya dan harga dirinya. Kebetulan pertolongan untuk korban jenis ini tidak ada. Tidak ada ambulans, supply darah, orang-orang yang memberi minum, atau yang bertanya dimana rumah saya. Saya tidak mau menjadi korban dan sekarat.

Maka setelah menyeruput kopi saya lagi, saya bertekad menjadi murid. Yang belajar setiap hari dan menyerap sebanyak mungkin kejadian pahit untuk saya pelajari. Dan menjadi bekal melihat masa depan.
Dan tidak apa-apa dengan pintu kesempatan impian yang tertutup, karena saya kelak bisa menciptakannya sendiri.
Dan hey, ternyata saya bisa mencintai apa yang sedang saya kerjakan, dan mulai mengerjakan apa yang saya impikan. Dan yang terpenting adalah saya hidup.

Butuh waktu untuk memutuskan. Tapi memang harus pakai stopwatch untuk mengingatkan bahwa bumi tetap berputar sembari kita menelongsokan diri untuk membuat keputusan. Wake Up.


Stop the drama, be a student, not a victim

Rabu, 08 Februari 2012

The Drama

Semalam berdebat dengan pasangan soal drama dalam sebuah hubungan. Menurutnya, memberi bunga adalah drama. Menurutku itu adalah fakta romantis. Menurutnya mengantar makan saat aku sakit adalah romantis. Menurutku itu adalah kewajiban. Menurutnya memberi cinderamata dari sebuah tempat wisata semisal batu berbentuk nama adalah momen acak yang belum tentu kembali. Menurutku memberi kenang-kenangan adalah romantis.Menurutnya meminta kompensasi keterlambatan sebuah momen dari pacar adalah matre. Menurutku, itu matre juga. Hehehe

Banyak hal dimatanya adalah drama, sementara itu adalah hal-hal yang biasa terjadi di kehidupan pasangan teman-temanku dan mengitariku. Dan banyak dimataku adalah hal yang biasa dilakukan pasangan, baginya itu adalah romantis. Oke. Mata kami memang berbeda. As he said, dunia kami juga berbeda. Ia benar, dunia kami berbeda. Duniaku dipenuhi teman wanita yang diperlakukan amat sangat seperti ratu sementara teman-teman priaku tidak pernah keberatan untuk memperlakukan pasangan mereka bak puteri raja. Drama? Sebenarnya itu disebut drama karena hal hal tersebut nyata terjadi dan kemudian menjadi inspirasi para produser untuk memproduksi film drama dengan hal-hal sejenis itu.

Aku tidak ingin diperlakukan seperti ratu atau puteri. Kebetulan aku memang tidak bisa menjadi keduanya juga. Tapi kadang-kadang, insting wanitaku merindukan satu sentuhan yang amat sangat romantis, yang mungkin disebut oleh pasanganku tadi sebagai drama.

Misal, memberi bunga , atau membangunkanku di pagi hari dengan semangkuk mie ayam, atau menyematkan bros di bajuku, atau memainkan lagu buatku, atau menyematkan namaku disebuah tempat di dunia, atau melakukan sebuah hal yang tanpa aku perlu mengajukan proposalnya lebih dulu.

Aku tahu kemungkinan besar ia juga menginginkan romantisme sejenis, jauh dalam lubuk hatinya. Atau mungkin ia merindukan masa-masa saat ia masih sendiri dan dikitari oleh teman-temannya.
Rasanya aku juga tidak pernah memagari aktivitasnya selama ini kecuali ada satu hal yang kupagari dan tak ingin mendengarnya membicarakan itu. Aku membebaskannya melakukan apapun. Dan itu bukan drama.

Dan hubungan yang dicampur drama, thriller, action, horror dan tentu saja COMEDY adalah hubungan terbaik yang bisa dicapai oleh umat manusia.

In this line, aku tidak membandingkan secara kompulsif, yang akan mengarah pada kasus mengerikan yang oleh Nietzsche disebut sebagai Lebensneid atau Iri Kehidupan. Sebuah keyakinan bahwa orang lain lebih beruntung daripadamu, dan seandainya kau memiliki tubuh wanita itu,suami-nya, anak-anaknya, pekerjaannya, maka segalanya lebih mudah, indah dan bahagia. Mengerikan bukan perbandingan itu? Aku, secara sadar, tidak melakukan itu. Dan sekaligus tidak menginginkan kehidupan menyedihkan macam itu.
Yang aku lakukan bukanlah membandingkan pasanganku, tetapi aku belajar menyentuh titik titik feminisku, karena, you know, pekerjaanku mengharuskanku mengubur sisi itu dan menggantinya dengan sisi maskulin. Apakah aku juga tidak punya waktu untuk sisi feminisku dan memperjuangkannya untuk sekali waktu disentuh agar aku ingat pada kelaminku? Tentu aku punya waktu .

Dan inilah kenyataan yang harus disadari :

Man is man, woman is woman. He is a man. I am a woman. 

Anyway, FYI, dia manis, dia romantis, dia logis. I love him.

Here we go, belajar lagi untuk meromantiskan hubungan tanpa harus mendramatisir hari-hari yang kami punya. Dan tidak akan ada Lebensneid.

Just enjoy it, let it flow in your heart...

The New World, The Marriage

I thought about marriage

Akhir-akhir ini aku berpikir tentang pernikahan. Hey, aku bukan sedang ingin menikah atau dalam tahap desperate menunggu untuk dilamar. Stop it, bukan itu. Aku sedang memikirkan sebuah dunia baru bernama pernikahan.
Kata Benjamin Disraeli, pernikahan itu adalah satu-satunya hal dengan resiko terbesar. Namun tidak ada yang lebih membahagiakan daripada sebuah pernikahan yang bahagia.
Nah, pada usiaku yang 26 tahun ini, aku justru sedang giat memikirkan dunia itu sementara kawan-kawan dekatku telah memiliki buah perkawinan, ada yang satu ada yang sudah menghasilkan dua. Apa? Babies. 
Aku sedang mengeksplorasi apa itu pernikahan. Dan memang semakin dipelajari dengan perasaan pecundang, dunia itu seakan penuh ancaman. Bagaimana tidak. Aku harus hidup hingga mati bersama seseorang pria yang aku cinta tentu saja, kemudian membagi banyak hal dengannya, dan menghasilkan satu atau dua anak manusia yang harus aku pertanggung jawabkan pada Ilahi kelak. Bukankah itu lebih dari cukup untuk membuat seorang pecundang mundur? I mean, sampai mati dengan orang yang sama dalam satu lokasi berbagi segalanya dan bertanggung jawab dengan segala hal. Aku ulang tebalkan. Segalanya. 
Apakah seorang pecundang akan kuat menanggung hal itu? Bukankah hidup jauh lebih mudah dengan menjadi tunggal dan tanpa tanggung jawab? Dan apakah pecundang yang menikah akan selalu berakhir dengan perceraian hanya beberapa bulan atau tahun setelah pernikahannya yang megah?
Oh God, tapi tunggu. Banyak orang ingin menikah. Dan banyak orang menikah mengaku bahagia. Dan banyak orang menikah dengan anak mengaku menjadi lebih bahagia. Is that a clue? Not. Disraeli sendiri jelas punya dua pandangan yang kontradiktif hanya dengan dua kalimat untuk mendefinisikan apa itu pernikahan. Jelas itu adalah resiko ketika pecundang memasukinya, dan menjadi hal terindah saat itu dijalani oleh kaum optimistik.
Dan apakah pernikahan juga sebagai legalitas ego dan penyaluran seks? Agar tidak berzina, kata agama. Agar halal semua bentuk gerakan seksual. Apakah hanya itu? Aduh, melihat gerbangnya pun aku tak sudi.

Bisakah seseorang melupakan sebentar..semacam waktu untuk -wait-a-moment- masalah legalitas seksualitas melalui dunia pernikahan? Come on.
Kuberi tahu pandanganku. Pernikahan adalah tentang berbagi ego. Means, kita tidak boleh memiliki ego kita sendiri dan melupakan pasangan kita. Adalah tentang berbagi ruang. Means, kamu harus selalu menyediakan ruangan di hati kamu untuk menerima pasangan kamu, sampai mati. Sekaligus ruang ditempat tidur yang sama. Di ruang tidur yang sama. Di dapur. Di rumah. Di mobil. Di kamar mandi.  Adalah tentang berbagi materi. Kamu harus membagi apapun yang kamu hasilkan dan jangan pernah klaim itu adalah milikmu pribadi. Kutegaskan bahwa berbagi materi jauh berbeda dengan perasaanmu saat bersedekah pada anak yatim atau memberi oleh-oleh untuk adik atau orang tuamu. Itu pasti jauh berbeda. Adalah tentang membagi hasrat seksualmu tanpa harus terlihat mesum dan -video porno-. Bisakah kita melakukan seks yang elegan saat pernikahan? Aku tidak pernah mendapat jawaban ini dari orang-orang yang sudah menikah.
Sorry, apakah susunan definisi diatas terdengar mengancam? Tentu saja bagi pecundang (semacam aku mungkin) dunia bernama pernikahan adalah ancaman bagi eksistensialitas pribadi. Bagi ego dan harga diri.

Beri aku waktu bernafas.

Hey, bagaimana kalau aku sekarang beralih masuk menjadi kaum optimistik? Yang memandang romantika pernikahan sebagai pembuktian cinta. Bagi yang percaya cinta dan pernikahan sebagai simbol, ini adalah dunia yang tepat. Bukankah menyenangkan selalu bersama dengan orang yang kita cinta sepanjang waktu sampai ajal memisahkan. Dan kemudian mendapat hadiah berupa satu atau dua orang anak yang akan menjadi tiket kita ke surga kelak?

Stop it.

Itu adalah cerita drama puteri-puteri kartun di TV.

Aku masih mempercayai dunia pernikahan. Dan suatu hari aku akan ada disana. Tapi tidak hari ini atau bulan depan. Ketakutanku adalah memasukinya tanpa aku siap menjadi seorang makmum, seorang istri, seorang ibu, seorang ahli pembagi.

Tapi memasukinya bersama orang yang dicintai dan mencintai kita, bukankah itu adalah petualangan terindah yang pernah ada? Dan menendang keras pantat si jiwa pecundang kita?

One day, I will have that wedding :)
One day...

PS :
Stop talking about sex legality under marriage. I wanna pug.

 



Biography of Bliss, Petualangan Pencari Bahagia

Abis khatam baca buku bagus nih (menurut aku sih) judulnya Biography of Bliss tulisannya Eric Weisner. Jangan cemas, jangan gundah, buku tebel ini udah diterjemahin ke bahasa lidah kita kok, jadi cuma judulnya aja yang terkesan "WOW" tapi isinya jauh dari berat dan beneran Inspiring. Eric menulis tentang perjalanan dia mencari makna bahagia di dunia.  Uniknya, dia jalan ke beberapa negara-negara di dunia. Kalau Asia Tenggara sih diwakilin sama Thailand. Nah, Eric yang berprofesi sebagai wartawan ini singgah beberapa minggu di tiap negara semisal Swiss, Islandia, India bahkan Moldova. Keputusan dia untuk mengunjungi negara tersebut bukan acak, tapi berdasar pada sebuah database kebahagiaan yang dibuat oleh seorang professor psikologi di Belanda. Keren kan? You know what, negara paling bahagia itu adalah Swiss sementara yang paling enggak bahagia adalah Moldova. Sementara negara terkaya yaitu di Arab Saudi dengan penduduknya yang mandi uang adalah pembeli kebahagiaan tertinggi.
Selain nambah wawasan tentang standar kebahagiaan di tiap negara-negara jauh yang mungkin aku sendiri belum tentu sampai kesana, buku ini juga mendorong kita buat berimajinasi loh. Misalnya karena membaca petualangan Eric yang seru banget di negara-negara asing, bisa bikin kita ikut ngebayangin dan jadi pengen ngumpulin tabungan buat kesana.
Perjalanan Eric ternyata juga representasi dari kondisi emosional dia yang, di India, ia akui tidak bahagia. Ia sendiri bingung dengan kerumitan dirinya mencari kebahagiaan, hingga terdampar di banyak negara hanya untuk merenungi hidupnya.
Di Dubai ia tinggal di sebuah hotel mewah dan membeli sebuah pulpen dengan harga fantastis hanya untuk mencoba seberapa bahagia ia dengan hal-hal itu. Dan beberapa hari kemudian, ia sadar bahwa pulpen dan kamar mewah tidak membuatnya merasa menjadi manusia, dan memutuskan untuk berpindah ke sebuah motel dan kehilangan pulpennya. Ia belajar membedakan rasa senang berkelanjutan dengan bahagia alami yang tahan jauh lebih lama.
Pada akhir perjalanannya, ia banyak belajar dengan definisi bahagia. Dan ia memutuskan buat melepas hatinya. Maksudnya apa? Baca sendiri aja yah biar "meresap". 
Andai si Weisner ini pergi ke Indonesia, kemungkinan besar ia akan menemukan standar bahagia yang lebih kompleks mengingat kondisi kesukuan disini amat kuat. Bagaimana dengan suku Jawa seperti aku? Hahaha, aku bahagia karena................


kalau kamu?


PS:
Anyway, kamu boleh baca buku ini untuk referensi kebahagiaan kamu sendiri, atau kamu boleh banget mencarinya sendiri dalam rimba hati kamu...petualangan itu seru :)

Just go...


The Blogs and the lost keywords

Eh by the way....

Ini adalah blogs aku yang : 1. Udah ga ke-update ; 2. Lupa password (ceroboh) 3. Ya karena kehilangan password tadi makanya jadi males  4.Koneksi internet lemot kayak siput obesitas lagi hamil makanya makin males...

Hehehe, kayak penting banget deh ini blogs. Penting sih sebenernya, buat aku :) ..Dari struktur tulisan, ternyata bisa ketauan tentang perkembanganku :))


1. Blog iseng pas ke Cina sumerep.wordpress.com
2. Blog curcol ishare.blogetery.com
3. Blog masa muda (cieh) ilma.blogdetik.com

Penasaran deh sama passwordnya...

SENYUM

Mungkin sudah ribuan wajah orang aku lihat selama seperempat abad hidupku. Dan milyaran mimik yang mereka hasilkan. Disetiap kota, disetiap ruang, aku adalah pencatat mimik wajah yang handal. Tahukah yang aku catat? Ekspresi bibir, mata dan dahi. Itu saja, dan itu cukup memberiku deskripsi singkat tentang apa yang sedang mereka alami.
Aku memang bukan antropolog sehingga analisa mimik wajah manusia jelas bukan jadi bidang yang seharusnya aku beri komentar secara profesional. Tapi ini hanyalah sebuah hal dari sesama pemilik wajah yang ingin belajar dari lingkungan yang ia lihat.
Well,aku memulainya dengan senyum.Tarik sudut bibirmu melengkung keatas, tak perlu usaha keras, cukup sampai kamu merasa daging di pipimu bergerak dan memastikan bahwa sudut matamu ikut terpengaruh. Itu adalah gerakan senyum. Selanjutnya terserah apakah ingin kamu kombinasikan dengan memperlihatkan gigi atau tidak. That's your right.
Banyak orang tersenyum, tulus dan terpaksa. Senyum tulus adalah senyum yang bisa ditangkap hati yang melihatnya. Senyum terpaksa, tidak akan pernah sampai hati. Senyum tulus kemudian bisa terlihat dari mata yang ikut tersenyum dan dahi yang tidak berkerut. Dan aku bersumpah, kamu akan bisa melihat seseorang tersenyum tulus hanya dengan melihat matanya. Itu jika kamu tertarik menatap mata lawan bicaramu.
Aku tidak akan menulis orang dengan senyum terpaksa. Aku ingin bicara tentang senyum tulus.
Ternyata sebagian besar orang-orang sukses yang pernah aku temui, adalah mereka yang suka tersenyum hingga ke mata mereka. Dimanapun, semua orang sukses dan rendah hati pasti dapat dijumpai saat sedang tersenyum. Mungkin mereka dulu pernah muram dan tidak tersenyum, saat mereka berada pada kondisi titik balik hidup yang memaksa mereka banyak berpikir sehingga dahi mereka sedikit berkerut.
Nah, perhatikan. Kalangan usia emas yang sukses adalah pemilik mata tersenyum dan dahi sedikit berkerut. Dan bukannya dahi berkerut bibir melengkung kebawah, seperti kebanyakan orang muda saat ini.
Setelah sekian lama memperhatikan, hari ini aku menyimpulkan, mereka yang sukses adalah mereka yang tersenyum tulus dan punya syaraf ketawa yang sensitif.
Makin sering mereka bertemu orang dan tersenyum, pelan beban hidup itu jadi berkurang. Entah mengapa otot senyum itu seperti mengendurkan otot tegang yang ada di bahu dan di leher belakang. Coba deh..
Jadi senyum juga bisa jadi salah satu rahasia termula mengapa mereka menjadi sukses, berhasil atau setidaknya tetap menjadi manusia didalam dunia yang makin kapitalis.
Aku sudah pernah mencobanya dan memang, senyum itu menyenangkan. Melihat bayangan sendiri di cermin yang sedang tersenyum pun rasanya senang, apalagi orang lain yang mampu melihatnya yah..
Yuk kita coba senyum hari ini

:)