Kamis, 09 Februari 2012

Stop the Drama, Be a Student, Not A Victim

Usia saya 26 tahun. Dan sedikit mengenyam pengalaman soal menentukan pilihan. One day few years ago, saya duduk disebuah warung kopi di Jember. Saat itu saya sedang ada pekerjaan disini. Muka saya tertekuk -adalah murung dan menunduk- dan saya menyeruput kopi kapal api saya pelan-pelan. Sembari menghisap asap rokok dari para lelaki perokok disana. Seorang rekan saya, teknisi pria paruh baya -yang sekarang sudah pensiun-, bertanya tentang keadaan saya. Saat itu saya memang sedang lelah karena pekerjaan yang amat banyak bagi engineer baru macam saya. Dan saya menjawab "Saya cape" Ia paham dan diam. Ia telah mendengar seluruh kisah dan impian saya tepat pada saat saya masuk perusahaan ini.
Sejurus kemudian, ia berkata "Stop the drama, be a student, not a victim". Entah ia memungut darimana kalimat tadi, yang pasti saya tahu bahasa Inggrisnya bagus karena ia pernah bertualang ke banyak negara di Eropa sana, jadi tak kaget mendengarnya merangkai kalimat tadi.
Saya merenung dan selalu mengingatnya, bahkan hingga pagi ini. Saya dinasehati untuk berhenti membuat drama atas kejadian yang menimpa saya. Dan sekaligus saya diwajib-sadarkan menjadi murid atas apa yang sedang terjadi, alih-alih memposisikan diri jadi korban.
Saat itu saya memang seperti tak berdaya. Saya terhempas dari cita-cita saya. Menjadi jurnalis. Saya merasa hidup tidak adil saat mendapati teman-teman jurnalis saya sudah berkelana panjang lebar mengikuti gerakan bumi dan menuliskannya. Saya merasa apa yang saya tempuh tidak seharusnya saya tempuh dan nyaris memaksa kaki saya memutar haluan. Saya merasa marah karena kesempatan tertutup bukan atas kesalahan saya. Dan saya sadar saya harus menghentikan drama unjuk rasa dalam diri saya sendiri secepatnya.

Saat itu saya tahu saya harus membuat pilihan. Saya harus keluar dari apa yang sedang saya jalani, dan memulai yang saya ingin, bukan hanya dari titik nol, tapi dari titik minus karena saya tidak mendapat dukungan dari siapapun. S.I.A.P.A.P.U.N. Atau meneruskan langkah saya, dan percaya bahwa ini adalah garis yang Ia gambarkan maka saya akan melihat puncak yang indah suatu hari. Pilihan adalah sesimpel itu. Perjalanannya tidak.

Tidak ingin berlama-lama menjadi bintang drama yang membuat hidup semakin buram dan penuh amarah, saya memutuskan untuk meneruskan langkah saya. Apapun yang akan terjadi di sepanjang perjalanan ini, adalah karena saya telah memilih.

Ternyata menjalani kehidupan sebagai konsekuensi pilihan sendiri adalah bisa menjadi jebakan. Setelah memutuskan menghentikan drama diri sendiri, saya harus memilih menjadi korban atau murid dari hidup. Perbedaannya adalah, memilih merasai hidup sebagai korban awalnya memang segalanya terasa mudah. Dan enteng. Dan santai. Saya bisa berkata "Terserah deh"..atau "Ya wajar mereka bisa, kan mereka dapat kesempatan, saya sih disini aja"...atau "Wajar saya gagal, kan saya memang ga bisa"...atau "Sudahlah..."..semua ekspresi permisif yang terasa enteng dan terdengar pasrah. Itu adalah korban. Saya memakai label victim ini selama beberapa waktu kemudian, tepat setelah saya memutuskan menghentikan drama.

Saya salah.

Efek menjadi korban adalah aliran kosmik hidup yang makin kacau alih-alih berjalan seperti yang sudah -seakan- digariskan. Saya tidak bersemangat, dan makin muram. Dan tidak bisa menerima banyak hal. Dan makin marah. Dan makin gelisah. Hubungan dengan orang lain memburuk. Dan tidak fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Dan keuangan menjadi kacau karena galau. Dan banyak hal aneh lainnya.

Dan saya menemui rekan tua tadi. Juga didalam warung kopi. Kali ini di Cirebon. Saya bertanya padanya "Gimana dengan hidup yang bahagia?" katanya "Berhenti membuat drama"..Jawab saya "Saya berhenti membuat drama"..Ia bilang "Dan masih tidak bahagia?"..Saya mengangguk.

Setelah seruputan kopi ketiga, ia berkata "Karena kamu ga mau belajar setiap harinya. Mata kamu terpusat di satu hari itu, dan tidak bisa melihat hari-hari kedepan karena ditutupi oleh rasa kecewa kamu pada dunia"

Cuma itu.

Jadi karena saya telah memposisikan diri sebagai korban tanpa sadar. Dan menolak menjadi murid. Maka saya tidak bisa melihat apapun. Korban adalah orang yang lemah dan patut ditolong. Korban bisa saja meninggal di tempat. Korban bisa saja kehilangan dirinya dan harga dirinya. Kebetulan pertolongan untuk korban jenis ini tidak ada. Tidak ada ambulans, supply darah, orang-orang yang memberi minum, atau yang bertanya dimana rumah saya. Saya tidak mau menjadi korban dan sekarat.

Maka setelah menyeruput kopi saya lagi, saya bertekad menjadi murid. Yang belajar setiap hari dan menyerap sebanyak mungkin kejadian pahit untuk saya pelajari. Dan menjadi bekal melihat masa depan.
Dan tidak apa-apa dengan pintu kesempatan impian yang tertutup, karena saya kelak bisa menciptakannya sendiri.
Dan hey, ternyata saya bisa mencintai apa yang sedang saya kerjakan, dan mulai mengerjakan apa yang saya impikan. Dan yang terpenting adalah saya hidup.

Butuh waktu untuk memutuskan. Tapi memang harus pakai stopwatch untuk mengingatkan bahwa bumi tetap berputar sembari kita menelongsokan diri untuk membuat keputusan. Wake Up.


Stop the drama, be a student, not a victim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar