Rabu, 27 Februari 2013

The Price Tag


THE PRICE TAG
Malam ini debat dengan calon misua soal mmmmh...acara lamaran. Ini acara resmi yang kami rencanakan dan jalankan dari jarak jauh. Kemungkinan besar dan memang akan terjadi adalah dengan skenario kami masing-masing berdatangan dari 3 kota yang berbeda. First, dia datang dari Balikpapan. Orang tuanya datang dari Bali, lalu keluarga yang akan hadir datang dari Temanggung dan last, acara diadakan di rumah orang tuaku di Yogyakarta. Bisa lihat keunikan disini? Sebenarnya ini adalah acara yang indah, namun dinodai oleh price tag, label harga.
Sial sekali. Sebagian besar waktu yang kami habiskan adalah waktu yang seakan uang tidak pernah berarti banyak dalam hidup kami. Kami makan mie berdua pun sudah terasa sangat enak, lalu nonton tv sementara dia membuatkan kami teh.
Sekarang kami berhadapan dengan dunia yang sebenarnya, dimana semua ditentukan oleh label harga.
Dengan jarak yang berjauhan, sebenarnya rupiah sudah banyak bicara dalam hubungan kami. Bayangkan jika uang tidak ada, bagaimana kami bisa membiayai hubungan mahal ini. Membeli tiket dan bertemu dua hari dua malam lalu kami berpisah. Dan kini untuk acara sesakral ini, sekali lagi cinta kami diuji oleh label harga.
Harga tiket melambung tinggi, tarif hotel sudah seperti menjulang keatas sana dan entah apalagi yang seakan membuat kami ingin menyerah pada label harga.
Aku tidak ingin menyerah tentu saja. Acara lamaran ini adalah sekaligus penghormatan kami pada orang tua kami, bahwa kami anak-anak mereka telah siap melangkah ke sebuah rumah baru dan mengalihkan tanggung jawab mereka kepada kami secara total.
Ini adalah acara lamaran, aku tidak tahu banyak bagaimana kami akan bisa melewati masa menjelang pernikahan.
The Price Tag....

Senin, 04 Februari 2013

Bapak

Somehow malam ini aku merindukan bapak. Mengingat bapak adalah tentang senyum. Ia selalu menenggelamkan wajahnya diantara koran dan buku, dan Al-Quran. Keningnya menghitam karena sujudnya yang amat lama tiap tengah malam, dan sujud terpaginya saat Subuh. Aku masih mengingat bapak dengan amat baik tentu saja. Aku selalu berlari-lari berkejaran dengan bapak. Ia adalah satu-satunya orang yang menyuruh anaknya untuk terus berlari meski sedang hujan dan memulangkan aku dalam keadaan kepala penuh benjolan karena jatuh. Aku tidak banyak menghabiskan waktu dengan bapak, kecuali setiap sore selama 6 tahun saat ia menjadi guruku tiap malam, mengajariku dengan suaranya yang keras, tentang soal matematika sekaligus bahasa Indonesia. Ia membuatku mencintai buku, karena toko buku adalah hiburan satu-satunya bagi kami saat aku masih kecil. Ia membuatku mencintai bakso, karena itulah jajanan kami saat itu. Ia membuatku mencintai rasa pedas, karena saat aku kecil, cuma nasi tempe pedas yang dimasak oleh mbah utiku saat bapak dan ibuku menaiki sepeda pergi bekerja. 
Ia yang membawaku ke rumah sakit puluhan kali karena aku selalu nyaris mendekati kematian karena penyakit demam berdarahku. 
Bapakku adalah orang yang berkata padaku bahwa tidak apa-apa aku patah hati, karena suatu hari aku akan dipulihkan oleh keadaan. Bapakku adalah orang yang bersedia mencuci seluruh baju kami, meski ia tak pernah bisa memasak. Bapak adalah orang yang selalu bisa membuat lelucon bahkan dalam panggung perayaan kampung kami. Bapak selalu bersedia memijat ibuku sekalipun ia sendiri sudah sangat kelelahan. Entah bagaimana ia bisa menghidupi kami semua dengan gajinya sebagai guru. Bapakku adalah yatim piatu yang tak pernah mau menerima kasihan dari orang. Ia kerjakan semua sendirian. Bapakku mengajariku tentang apa yang telah hidup ajarkan padanya. Saat aku hendak pergi merantau, pertama kalinya baginya untuk melepaskan satu orang anaknya pergi. Ia mencium keningku amat lama. Saat aku patah hati, ia menyuruh ibuku meneleponku setiap dua jam hanya untuk menanyai kabarku. Aku tahu ada bapakku sedang menyimak pembicaraan kami. Mungkin ia adalah orang paling bahagia di dunia saat melihatku menikah nanti.

Aku ingin bapak.

Aku merindukan bapakku.