Senin, 23 Desember 2013

End of 2013 : Career Path

This is my free writing. Hari Minggu yang gerimis di Hari Ibu jelang akhir tahun 2013. Well,akhir tahun mendekat. Dan 2013 hampir menghabiskan sisa usianya. Mungkin kalau diibaratkan manusia,seandainya ia tahu usianya tinggal sekitar,let's say,9 hari lagi,saat ini pasti menjadi saat puncak. Entah itu saat puncak bahagia,atau sedih.

Puncak menjadi diri sendiri karena tahu waktu sudah tidak akan ada baginya lagi. Lalu dia memuaskan diri menjadi apa yang ia ingin lakukan dalam dirinya sendiri,atau waktu untuk menyesal karena kehabisan waktu. Yap,sayangnya manusia tidak bisa mengetahui berapa sisa usianya sendiri seperti manusia bisa tahu berapa sisa usia tahun ini.

What have we done on 2013? Semua media pasti sedang mengulasnya. Para motivator ramai membahasnya di media sosial. Orang-orang membaca kemudian merenung. 

Semua tentang pencapaian. Pencapaian yang bisa dilihat dan diraba manusia. Entah menikah,memiliki rumah,berkelana ke sebuah tempat,memiliki tabungan sekian,mendapat gelar tertentu,membeli barang tertentu. Tapi tidak ada yang bisa benar-benar mengetahui pencapaian dirinya kecuali diri itu sendiri.

Pernah tidak berpikir,well...tahun ini aku sudah lebih dewasa dengan banyaknya cobaan yang aku jalani. Pernah tidak ya,ada orang berpikir untuk mengucap terima kasih pada Tuhan atas banyaknya cobaan yang sudah dan sedang mereka jalani. Cobaan itu cuma ada dua jenisnya. Kalau dia tidak membuatmu mati,dia akan menguatkanmu. Lagipula,cobaan tidak selalu ada dalam bentuk air mata atau ratapan. Dia juga berupa tahta yang bisa melampaui harga diri manusia. 

Setahun lalu,hari ini,aku masih berada di Surabaya. Sendirian dengan pekerjaan yang sangat menekan,secara mental. Dengan hubungan yang hampir kandas,segalanya makin tampak buram. Benar loh. Tahun lalu adalah tahun yang sangat melelahkan. Pada hari ini,ketika kilas balik ke masa itu, aku ingat saat itu juga aku berpikir aku tidak akan bisa melaluinya. Ada banyak hal yang harus aku lewati. 

Saat itu selepas dari vendor Cina itu aku beralih ke sebuah subkontraktor kecil yang dimiliki oleh pria Batak yang sangat cerdas. Aku memulainya dari titik nol karena harus mempelajari semua hal baru lagi. Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku bisa berada dalam posisi itu. Di sebuah kota yang lumayan jauh dari keramaian. Berdebu,panas,dan kemana aku pergi,menumpang mobil pick up milik pak Desmon,pria Batak beranak empat itu.

Aku pergi ke Jambi selama satu bulan,bukan hidup di Jambi,tetapi disebuah desa bernama Taman Raja di area perkebunan sawit. Tinggal di rumah warga,dan hidup seadanya. Itu bukan lereng yang mudah dituruni oleh aku. 

Tahun itu aku belajar,ditengah kesulitan,Tuhan selalu menanamkan kebaikan selagi kita percaya. Aku bertemu dengan orang-orang baik yang tulus di kantor itu. Aku belajar untuk sholat tepat waktu dan berjamaah di masjid. Aku belajar tentang agama,lebih dari sekedar ritual dan teori. Aku mendapatinya langsung dari teman-temanku.

Aku mati-matian mencari pekerjaan. Dan dengan sukses tidak ada satupun yang memanggil namaku untuk sekedar ditanya apa kemampuanku. Pada suatu malam Idul Adha 2012,aku bertekad untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,tanpa pekerjaan baru,dan memasrahkan segalanya dihadapan Tuhanku. Aku patuh dan tunduk apapun yang akan terjadi. Karena bagiku kebahagiaanku adalah yang utama.

Selepas dari kantor itu,aku memasuki kantor baru dibawah pimpinan orang Korea. Satu-satunya perusahaan yang memanggilku,atas ijin Tuhan. Aku senang bukan main. Tapi..Kembali,aku harus pergi dari Jakarta. Berpetualang di Surabaya. Adaptasi yang tidak mudah,dengan pekerjaan yang nyaris tidak mungkin dilanjutkan. Aku bertemu orang-orang yang melecutku untuk belajar cepat dan fokus. Aku diingatkan untuk tidak lengah,tetap menjadi diriku sendiri,dan tidak melawan arus. Pelajaran keras. Sendiri. Hubungan nyaris kandas. Aku melakukan yang perlu dilakukan.

Pada malam tahun baru 2013,aku berada di kamar kosku di Kertajaya Indah,Surabaya. Saat semua orang sedang berpesta merayakan tahun baru,aku duduk diam di kamarku. Membaca Al-Quran. Sholat. Aku menangis. Dengan satu doa yang tak pernah henti kubisikkan,tak peduli apakah Tuhan peduli atau tidak. Tuhan,berilah aku kesempatan untuk membahagiakan orang tuaku,nenekku,dan diriku sendiri. 

Aku tidur dalam harapan,meski saat itu aku sama sekali tak punya harapan. Aku hanya berusaha menjalaninya. Doaku tak putus dengan kalimat yang nyaris sama dari waktu ke waktu.

Suatu pagi teleponku berdering. Suara panggilan kerja di tempat baru kudapati. Tak seumur jagung,aku mendapati diriku diterima bekerja ditempat lain. Ditempat yang selalu aku bayangkan aku bekerja didalamnya. Jika kalian tahu berapa lama aku menginginkan bekerja ditempat itu,aku sudah menginginkannya sejak tahun 2010. 

Aku selalu mengirimkan CV-ku all the time ke satu tempat itu. Aku bahkan hanya mencoba dan tidak pernah berharap mereka memanggilku,karena saat itu aku tahu aku adalah anak lulusan universitas swasta yang mayoritas lulusannya menjadi tenaga IT di dinas pemerintahan,dosen,desainer web dan sama sekali tidak punya nama di industri telekomunikasi. Apalah aku dengan semua ijazahku. Mayoritas temanku adalah mereka yang mendapat gelar dari satu institusi bentukan salah satu BUMN yang memfasilitasi lulusannya untuk bekerja di bidang telekomunikasi. Aku tahu betapa mudahnya bagi mereka untuk menemukan dan melompat dari satu tempat ke tempat lain dalam industri ini. Aku sadar kakiku berbeda dengan mereka,maka yang kulakukan adalah tidak memindahkan kakiku sampai ia cukup kuat untukku melompat.

Pada hari aku diterima bekerja ditempat itu,ada rasa ragu yang sangat kuat. Ada banyak hal yang harus menjadi pertimbangan. Terutama saat aku tidak bisa membedakan antara bahagia dalam nafsu atau bahagia yang sesuai doaku. Dengan mengingat kembali doaku,aku melanjutkan langkahku di tempat baru itu. Disini saat ini. Dan andai saat itu aku lupa dengan doaku,mungkin hari ini aku limbung karena tempat lama yang kupikir aku bahagia disana,menyatakan kebangkrutannya,dan teman-teman timku kocar kacir mencari perlindungan.

Kamu tahu,masa lalu adalah waktu yang menempamu menjadi saat ini. Peribahasa itu tak sekedar kalimat kosong. Ia nyata dan aku saksi hidup untuk menyatakannya.

Aku sampai ditempat ini ternyata karena apa yang telah aku jalani di masa lalu. Di vendor Cina yang saat itu terasa melelahkan,bodoh dan tidak manusiawi. Di subkontraktor Batak yang ganas. Di subkontraktor Korea yang mematikan. Dimanapun aku sedang berada di masa lalu,itu membentuk masa sekarangku. 

Aku berada disini bahkan untuk posisi yang aku tak pernah bayangkan akan bisa berada disitu. 

Disini saat ini,ditempat yang aku inginkan selama 3 tahun,aku dihargai berkat kecepatanku hasil tempaan vendor Cina itu, berkat pengetahuan dan militansi tempaan pria Batak,berkat kerja keras tempaan sekumpulan pria Korea idealis dan penuh perhitungan. Apapun yang telah terjadi di masa lalu,benar-benar membentuk kita saat ini.

Saat aku mengeluh tentang pekerjaanku,aku mengingat apa yang sudah kulalui untuk mencapai titik ini,apa yang pernah benar-benar kuinginkan,dan yang paling penting,mengingat doa yang selalu terucap. Setelah itu,mengingat masa lalu akan membuatku menjadi pemilih untuk menjadi malas dan pengeluh,karena apa yang aku kerjakan hari ini,akan membentukku di masa depan. Entah apa akhir dari perjalanan disini,aku sudah sangat bahagia pernah ada didalamnya.

Think less,feel more. Talk less,do more.

That's all.

Matter.

Selamat datang 2014 :) 

Terima kasih Allah.



Selasa, 10 Desember 2013

The Angels

Why should we go from home the place we grown with angels that kept us alive?
Why we left them far away from us and in the end,we are ended as a bastard?
Why we ignore them when we grow up and they grow old?
Dont we have to sorry for all the time in our life?

Why?

For long I searched for the because. And I still failed to find the most reasonable because.
Nothing is an answer for the question why we left them apart.

Because we need to stand by ourselves? Dont we need to taking care of them after they grow us up for all the time of their life?

Because of what?

Because we need to look for the foods,the shelters,the clothes that keep us warm?

Or maybe just because we want to run away from them. Prove the career we can hold. But in the end, we are really miss them so much. And feel sorry to left them away,and on that time,all the things happen are just....you already late,they already gone,and they are living forever in our heart.
You miss the hugs,you miss the smile,you miss the pray,you miss ..the angels..

Bapak and Ibu....

Kamis, 05 Desember 2013

Husband & Wife #1 : LDR

Dua hari lalu,3 Desember 2013 adalah tepat satu bulan menjadi isteri dari Taufiq Wahyu Ibrahim. Aku jadi Nyonya Ilma Ibrahim dong? Lucu yah :)

Menikah itu ternyata bukan cuma soal romantisme,sayang-sayangan atau sekedar panggilan mesra. Menikah ternyata jauh lebih detail daripada itu semua. Untuk hal terkecil tentang siapa yang akan mengantar baju kotor ke laundry, siapa yang membayar tagihan TV kabel, masakan makan malam apa hari itu,apakah pasangan siap untuk melakukan intercourse,dan hingga kondom merk apa yang akan dicoba. Sungguh, pernikahan adalah sebuah penyatuan dengan begitu banyak detail yang harus diperhatikan.
Kita memang melibatkan sisi romantisme dalam perjalanan pemenuhan detail tadi. Apalagi kalau perjalanan pernikahan itu diwarna dengan terpisahnya fisik oleh jarak. Lalu keduanya bekerja dalam tempo lama tiap harinya. Telepon adalah satu-satunya alat penghubung paling logis yang bisa dijalankan.

Setiap hari selalu berbeda. Tidak pernah ada hari yang sama. Ketika pada hari itu bukan hari yang menyenangkan,tidak selalu ada pasangan yang bisa menjadi tempat curahan hati. Kemudian kita tergoda untuk menelepon dan mencurahkan perasaan kesal hari itu. Tapi itu akan batal terjadi. Karena saat mendengar suaranya,kita akan menahan curahan itu dan lebih mengutamakan mendengarkan suara untuk hal-hal menyenangkan. Itulah. Menjalani detail dengan kedewasaan yang dituntut tumbuh setiap saat.

Menikah dan LDR,adalah hal yang langka terjadi. Tiga minggu setelah menikah,suamiku pergi ke pulau seberang,menjemput rejekinya.

Menikah juga adalah tentang menjalani detail dengan tingkat kepercayaan yang dituntut tumbuh tiap saat.

Itulah mengapa,menikah adalah tentang pemenuhan kehidupan.

I love you,Ibrahim :)

Sebuah Hari Pertemuan Manusia

Menghabiskan sisa waktu malam di sebuah ruang pertemuan di hotel bintang 4 di Bandung. Menatap layar proyektor yang berisi baris angka dengan nominal tertentu. Yang hampir mustahil dipegang secara fisik. Ruangan berisi dua puluh empat orang ini temaram. Masing-masing sibuk dengan apa yang ada dalam isi kepala mereka. Beberapa orang meletakkan fokusnya di barisan angka di layar,beberapa orang sibuk dalam pembicaraan. Beberapa membuka media sosial. Beberapa tampak menahan kuapnya. Aku tidak melakukan apapun selain berusaha mengembalikan kedamaian antara jemari dan otakku. Agar keduanya mampu mengetik barisan kata dan rangkaian kalimat,alih-alih angka.

Satu tahun terakhir ini aku sibuk membuat susunan angka,deretan analisa,daftar peluang yang mungkin,kembali menghasilkan angka,berkutat dalam pembicaraan yang berujung pada angka. Dan tanpa disadari,saat pandangan mata tertuju pada sebuah titik didepan,maka pandangan sekitar akan melebur. Berwarna-warni tapi tak jelas ragam bentuknya.

Sebuah hari dalam jeda tanpa topeng angka,dan tanpa imajinasi palsu yang sama sekali tak dibutuhkan dalam dunia yang sudah indah.

Diluar angin dingin menggigit. Mengejar mereka yang berani berkelana. Angin adalah satu-satunya yang bisa dianggap sebagai hal yang alami disini. Angin menjadi bukti keberadaan manusia yang sebenarnya,bukan hanya rekayasa angka.

Akan ada banyak yang menentang pendapat ini. Bahwa kita mungkin membutuhkan sebuah hari dalam jeda yang pendek,hanya untuk mengakui bahwa kita sedang hidup di bumi,dibawah langit,dikolong angkasa. Bahwa kita tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu anugerah ini untuk berkutat dalam bayangan eksak ciptaan manusia. Sebaiknya,kita lebih banyak menghitung bukti keindahan kehidupan yang tak terhitung. Hanya untuk menyadari. Hidup kita jauh lebih besar daripada angka. Dan kasta.