Jumat, 30 Maret 2012

Lini Masa

Senja di Cirebon. Kereta Cirebon Express sedang dimatikan aliran listriknya, karena sedang ada penyambungan gerbong tambahan. Aku duduk di kursi 3B gerbong bisnis. Menatap para pedagang asongan yang lalu lalang di gang gerbong. Jualan mereka sama. Aqua,Mizone,Pop mie,nasi bungkus, tape,tahu,tissue. Teriakan mereka menggema memenuhi gerbong yang pengap. Aura pergulatan ekonomi amat terasa dalam kegiatan ini. Para pedagang yang sedang berjuang demi sepeser ribuan rupiah. Sementara di ibukota sana, massa sedang berdemo,sebagian sedang merusak fasilitas negara,sebagian lagi berteriak frustasi tentang kenaikan harga BBM. Pejabatnya sedang ambil suara. Partai sedang berdebat. Tidak ada yang melirik pergulatan ekonomi yang sebenanrnya. Tidak ada yang paham masyarakat itu bukan cuma penghuni ibukota. Mereka ada diseluruh pulau Indonesia,sedang berjuang sendiri tanpa kebijakan pemerintah yang tak bisa dipahami.
Di kantor sana, di kawasan elit Mega Kuningan,disebuah gedung lantai 26 sedang terjadi pemecatan besar-besaran. Palu resesi dan depresi sedang diketuk. Berkat policy yang brutal mengijinkan monopolisasi pasar telekomunikasi. Hari ini 40 orang di kantor itu kehilangan pekerjaan.

Perputaran roda yang amat ganas.

Seperti kelam dan pengapnya gerbong ini, Indonesia negeriku juga sedang mengalaminya.

Generasi depresi sedang dilahirkan.

Kelak 30 tahun kedepan,bisa jadi generasi ini justru jadi generasi terkuat hasil tempaan masa. Atau generasi terlemah berkat kehidupan dalam drama.

Wake up.

Mimpimu bisa jadi bencana kalau kau terus terlelap.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 29 Maret 2012

Saya Keren (VersiSendiri)

Another crazy week has done. Minggu ini tingkat kekerenan saya meningkat pesat. Meski tidak diakui dunia atau bahkan teman terdekat pun,saya merasa sudah keren dengan telah melalui minggu ini. Boleh ya saya klaim diri saya sendiri. Dimulai pada Senin pagi yang berakhir dengan Selasa dini hari di Cikupa berkat cut over. Lalu pada selasa malam saya ber"tengkar" dengan bos saya yang hasilnya adalah target minggu ini. Targetnya adalah penyelesaian cut over di 4 kota dengan 4 tim yang berbeda,dikerjakan bersamaan,semi mustahil. Rabu pagi,teman-teman tim berangkat. Mengikuti plan yang kita buat bersama. Saya sendiri pada Rabu subuh sudah bangun dan menatap layar NMS. Jenis orang macam apa yang melakukan itu sembari mengudap keripik jagung dan pisang. Saat itu sakit kepala saya masih menggelantungi tengkuk. Pada jam 11 siang,saya berkemas untuk pergi ke sebuah wawancara kerja yang jaraknya 2 jam perjalanan dengan taksi. Ke Bekasi. Pada jam 3 sore,wawancara menyenangkan itu usai. Saya menumpang ojek kembali ke Jakarta. Ojek yang tidak tahu menahu jalan,hingga sampailah saya di kos tersayang pada pukul 5 sore. Kereta saya menuju Tegal dijadwalkan pukul 7 kurang seperempat. Sisa waktu untuk berkemas dan berangkat,lagi-lagi dengan ojek. Kereta berangkat tepat waktu dan Cirebon Express adalah kereta yang sangat nyaman. Tiba di Tegal pukul 23.50 dan saya langsung menuju Telkom Tegal untuk Cut Over. Pekerjaan tadi selesai pukul 2 pagi. Saya mencari hotel dan tertidur hingga pukul 6 Kamis pagi. Belum selesai sampai disitu. Pukul 11 siangnya saya kembali ke Telkom Tegal untuk menyiapkan cut over barusan. Dan disinilah saya,pukul setengah tiga pagi hari Jumat, kelelahan dan merasa keren versi saya sendiri karena telah melewati minggu ini. Tanpa menunduk,tanpa memasang status galau,dengan suara cukup cool untuk menjawab telepon,dan kaki yang cukup kuat untuk berlari dari lantai 1 hingga 3 dan sebaliknya dalam dua malam berturutan. Oh kebetulan saya tidak peduli pada tingkat kekerenan orang lain minggu ini. Misal tidak peduli pada kekerenan mbak PNS seksi yang rambutnya spiral itu,atau mbak vendor tetangga yang suka sayang-sayangan dengan laki orang,atau pak Dahlan Iskan yang menggratiskan tol,atau mas Prie GS yang menyarankan warga tetap senyum. Kebetulan itu sekarang tidak penting lagi,karena saya sendiri sudah cukup keren dengan melampaui batas yang saya buat sendiri. Maaf yah ini khusus untuk diri saya sendiri. Bisa dibantah tapi saya tak menggubris bantahan. Yang pasti, minggu ini selesai,dan saya keren (meski ngaku sendiri). Titik. Mari kita keren sama-sama.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

I don't Think so,but I Miss Him

I miss him in the middle of my nite. When am alone and the nite became soundless. Then I stared at the stars above. Trully said I miss him. Does he know it? I don't think so.
What am I looking for this feeling? Encouragement for me, pretend that am well so fine.
Once time, I decided to be alone. Keeping my heart by myself. I thought that I tought enough. Oh that was so wrong. I wasn't ready for loneliness. Now I spoke to the empty room.
For the bad things I did, for the worst circumstances I had, for the worse face I wear, for the worst ever ever ever I lived. I really want to say that I miss him. I need him to say it back to me, with every badness and the worse and worst things I have. I need him to need me like I need him.

Now he slept peacefully,I'm still awake. Does he know about me and my feeling?
I don't think so.



Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 28 Maret 2012

Arti Dukungan

Rasanya ini lebih berat daripada waktu harus melabeli mantan pada orang yang used to be boyfriend yah. Yang bikin ini berat karena dukungan dari orang lain berupa jalan yang dibuka amat lebar yang karena amat lebar,membuat kita sedang jalan sendirian,tanpa digandeng atau dengan pundak ditepuk. Kalau kita putus sama pacar, dukungan orang lain berarti pelukan amat erat dan selimut hangat atau payung yang siap menaungi kita.
Maka sekarang aku sendirian rasanya. Saat banyak orang bilang "Aku dukung kamu", kemudian bayangan mereka hilang perlahan. Makin banyak yang berseru dengan kalimat sederhana itu,makin jalan itu jadi sepi.
Iya semuanya ada di tangan aku. Pilihan yang amat sulit. Dan dukungan jalan layang nan sepi. Aku sungguh berharap datang setidaknya satu orang yang tidak berkata "Aku akan dukung kamu apapun pilihan kamu". Itu akan sangat membantuku berjalan dalam kenyataan.Meraba yang semestinya aku tempuh.
Tolong,waktuku habis.Aku sendirian.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Lelaki Jaman Sekarang

Dalam satu hal,gw belum bisa percaya sama hati lelaki. Mereka itu bisa terbuai cuma dengan kibasan rambut atau kaki mulus. Gw masih belum bisa percaya kalau gw bisa gampang percaya banget sama satu lelaki. Coba gw putus,apakah lelaki tersebut bakal ngedeketin cewe berambut panjang lembut keibuan sama kayak yang udah-udah atau dia bakal tetap pada keputusannya buat menunggu? Sejak jaman kuliah,itu adalah bunga bibir. Ya pemanis aja,biar romantis. Biar kedengeran macam romeo pada juliet. Tapi ya, belum pernah ada yang kepegang sih omongannya. Sejauh ini, ada yang diuji dengan suara manja dan bibir ranum,eh nemplok juga. Sebagai engineer yang kelelakian,gw merasa nasib perempuan yang bergaya macam gini ini suram soal mendapatkan lelaki Mereka banyak maunya. Terutama soal fisik. Tapi apakah kita sebagai wanita menuntut fisik mereka? Enggak.
Coba aja sekarang seorang cewe dihadirkan. Berparas cantik menurut dia, PNS, posisi stabil,bersuara manja,berbibir ranum. Apakah tidak terpikat ia?
Sayang banget laki jaman sekarang segitu gampangnya kemana-mana. Gw yakin generasi bapak kita ga ngelakuin itu,kalolah ada itu juga pasti oknum aja.
Dari lubuk hati terdalam,gw ga tau gimana cara mempertahankan hubungan dengan makhluk lelaki jaman sekarang.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 25 Maret 2012

Fokus Pagi

Senin pagi ini tadi nonton Indosiar acara Fokus Pagi. Acara ini biasanya diisi dengan berita dan mengundang anak-anak sekolah beserta guru mereka buat tampil dan unjuk bakat. Bagus sih,mendidik dan menghargai keberadaan dunia pendidikan level terendah. Maksudku,bukan undang tokoh pejabat lalu pagi-pagi debat macam di tivi tetangga atau nampilin acara gossip yang "who care" sih kalau si A cerai,B selingkuh, C liburan?
Indosiar yang sinetronnya paling ga banget ternyata punya ide cukup cerdas dan baik buat nayangin acara macam fokus pagi yang fokus pada kebahagiaan dan kegembiraan,tentu di pagi hari.
Lucu deh lihat anak-anak itu. Hari ini ada dokter kecil yang diwawancara. Apa sih yang kita pernah tahu tentang mereka? Bahwa kita pernah jadi mereka. Iya lho, dan jadi anak-anak itu amat penting di pagi hari. Tau kenapa? Supaya ada gairah buat sisa hari nanti. Waktu kecil dulu, sekolah itu menyenangkan -yah,kcuali banyak ulangan sih-. Kita waktu itu antusias ketemu orang baru,temen,guru. Bahkan terbelalak kegirangan waktu tau kalau perpustakaan punya buku baru, atau ada guru baru, ataaau ada jajanan baru, ataaaaaaau ada pengajian. Lihat kan yah dengan mata "berumur" kita yang sekarang, kalau dulu, hal yang keliatan "sederhana" sekarang,bisa amat menggairahkan. Coba kita lihat masa sekarang dengan mata kita yang "dulu". Jelas ada banyak hal yang menakjubkan. Misal nih yah, hari ini kemungkinan kita belajar hal baru,bisa nonton film baru,bisa nyicip makanan baru,bisa ketemu orang baru,bisa dapet uang dari sumber yang baru, daaaan bisa ketemu banyak ustad yang lebih banyak daripada pas masih SD.
Look, apapun yang kita lihat menakutkan pas diteropong pakai mata "berumur", ternyata cukup "menggairahkan" pas diliat pakai mata "anak". Bukan berarti kekanak-kanakan yah, mata tadi cuma berfungsi buat menerbitkan gairah yang menguap selama usia berjalan.
Jadi,mungkin bisa dicoba buat masang mata itu buat hari ini, dan kita lihat hasilnya nanti malam.

Have a nice monday,c u tonite

Kisskiss.

PS : Thanks for Indosiar, for the morning touch.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 21 Maret 2012

Atas Nama Target

Fiuh, saya lega. Beberapa tugas cukup terkendali sampai detik ini. Oke, saya memang bukan project controller yang ditunjuk resmi oleh perusahaan itu, tapi well, saya cukup mampu mengorganisir pekerjaan saya yang menyangkut banyak orang. Saya tidak menyangka bisa menekan - hahahhahaha - orang logistik yang agak tak seronok soal penyampaian material dan membuat mereka membalas email saya dengan janji yang terekam hingga orang-orang PM. Dan beberapa kebutuhan untuk cut over minggu depan sudah bisa saya perhitungkan minggu ini. Nanti malam adalah malam optimasi di tiga kota. Saya cukup menyiapkan teman-teman dan kami semua bekerja sama. Tim Telkom pun sudah dihubungi dan bantuan datang. Informasi site telah dikumpulkan, semoga semuanya lancar.

Jadi jadwal untuk minggu depan adalah-menurut pemikiran enjinermondarmandir- :

Senin pagi : ilma dan pak margono ke Cikupa, senin malam : Cut Over link Cikupa - Bandung Lamda 1,2,3. Sesudahnya Algie ke Jakarta.

Selasa menyiapkan material untuk Purwokerto, Tegal dan Cirebon. Sekaligus pemberangkatan tim.
Algie akan ke Tegal bersama pak Margono, Erisa ke Cirebon bersama pak Uday dan saya..whatta sendirian ke Purwokerto.

Kamis malam cut over tiga link diatas. Kalau kuat, Rabu malam hahahaha. Najong. Enggak lah yah, emang kuda kerja paksa.

Seharusnya kamis malam itu bisa sekalian optimasi Purwokerto-Gombong sih yah asal tim di Jateng mau bantu. Tapi ga yakin juga sih mereka siap, karena kerjaannya juga banyak.

Nah Jumat si Algie cuti deh, doi mau lamaran dooong hahahah...

Okey deh , sekilas ini dulu aja jadwalnya. So far terdengar baik. wkwkwkw




Proposal Tak Resmi Buat Hidupku

Sembari didera lilitan di perut pagi hari di Geger Kalong Bandung, saya menulis ini demi menghindari lupa. Tapi yah, suhu udara Bandung pagi  ini bener-bener tidak tahu diri, dingin sekali.

Semalam bicara pendek-pendek (karena mengantuk) dengan mas Taufiq Ibrahim soal percakapannya dengan tetangga sebelah kamarnya. Yang ternyata amat menginspirasi soal mimpi. So selain mimpi mas Taufiq berupa perjalanan ke perbatasan dan membangun jaringan telekomunikasi disana, which is yang amat mulia. Maka mimpi saya pun harus ditulis disini, sebagai reminder biar ga demotivasi lain waktu :)

1. Punya portal online sendiri, yang ngebahas soal perjalanan. Perjalanan ga selalu dinyatakan dalam gerakan fisik yang melibatkan banyak daerah. Perjalanan juga bisa berarti duduk diam dan membaca, berjalan-jalan dalam halaman buku, atau diam menyimak film, fantasi berjalan di putaran slidenya. Atau mata terpejam telinga berjalan dalam alunan melodi, atau lidah berkelana menjelajah rasa. Atau secara fisik, kita berjalan-jalan melintasi alam macam ninja hotaru.

2. Punya bisnis sendiri. Entah yah, dari dulu suka banget ngebayangin bisa punya penghasilan sendiri nd mengatur sendiri gajinya. Well, bukan MLM atau semacamnya, tapi semacam invest Logam Mulia dan membuka toko sembako online. Secara untuk punya warung sembako beneran itu amat menguras energi keuangan. Dan toko sembako online ini bisa ngurangin kemacetan sekalian memberdayakan orang lho.

3. Punya TK. Hahahha, dulunya pengen berdirikan TK di desa terpencil di Gunung Kidul sana. TK enterpreneur muslim. Aku akan kerjasama dengan pak Ippho yang sudah punya manajemen TK Khalifa. Well, untuk modalnya sekiraaaaa 120 juta -_-..tapi Insya Allah bisa lah yah..demi umat. Apalagi di desa terpencil kan yah

4. Jalan-jalan keliling negeri dan negara. Hahah, siapa sih yang ga mau?

5. Menulis buku hehheehhehehe...#kepedean

6. Being MOM, Punya anak dan dididik sendiri sedari dini, dan mendampingi ia semaksimal mungkin. Minimal 1 anak maksimal 2 anak. Dengan nama yang tidak akan menyulitkan dirinya sendiri untuk mengeja namanya sendiri.

7. Membahagiaken nenek dengan menghadiahi beliau kado pernikahan. Oops, harusnya ini nomer 6. Kebalik saking semangatnya

8. Membuka perpustakaan gratis. Bisa ditaruh dibecak trus dikelilingin gratis atau stay gitu aja di halaman rumah.

9. Menjadi manusia utuh sesuai perintah Allah

10. Sekolah lagi, kali ini di IKJ atau UI. Tapi condong ke IKJ deh heheheh

11. Naik haji ^____________^

Gitu deh mimpinya...semoga lekas terlaksana, amiiiiiiiiiiiin


Selasa, 20 Maret 2012

Ollie dan Jalan

Matahari berjibaku dengan senja,dan cahaya sore itu semuram kekalahan matahari bagi Ollie. Ia sedang sibuk menatap kerikil jalanan Toraja saat sebuah mobil nyaris menyerempetnya bersamaan dengan supir yang memaki keras. Ia lelah, perjalanannya cukup panjang setahun terakhir ini. Berpindah kota tiap tiga hari bukan hal mudah baginya,dan bersama para adam yang seakan meremehkan apapun yang melekat pada Ollie. Salsabeela berarti keindahan,nama panjang Ollie. Senja ini,ia merasa telah mengecewakan sang pemberi nama,sang mama.
Ollie adalah salah satu teknisi telekomunikasi di sebuah vendor Cina. Ia adalah satu-satunya wanita di divisinya. Keresahannya menyangkut hatinya yang kian menjadi berat sejak menjalani pekerjaan ini. Berat,dan melelahkan. Ia terus bersama orang-orang yang tak bisa memahami kewanitaannya. Ia takkan ada disini jika tak selalu ingat pesan almarhum mamanya untuk menjalani pilihannya dengan ikhlas. Lagipula, apa yang ia hasilkan adalah demi adiknya yang ia biayai sekolahnya. Ia harus maju,memperkeras hati,dan tidak peduli pandangan orang lain.
"Kak Ollie,kapan pulang". Pesan singkat membuyarkan lamunannya. Dari adiknya,Andi. Ia tak pernah bisa pulang,pekerjaannya mengharuskannya untuk terus bergerak membangun jaringan telekomunikasi di pelosok negeri.
Apakah yang sedang ia cari,renungnya.
Ia melupakan mimpinya menjadi jurnalis,penulis,relawan anak,dan usaha dagangnya sendiri. Kulitnya hitam terbakar matahari,ia disepelekan para pria,dan ia jauh dari satu-satunya keluarganya,Andi.
Seperti hari-hari sebelumnya,ia menutup malam dengan memandang langit kelam bersulam bintang. Ia bercakap pada ayah dan mama diatas sana,mendengarkan bisik mereka untuk tetap menjadi Ollie yang mencintai kehidupan.
Bulan berlalu,tahun hampir berganti lagi. Ollie sedang terapung diatas perahu di alur sungai Barito. Kebetulan ia sedang ditugaskan di Banjarmasin. Subuh itu ia hendak menikmati pasar apung Barito yang tersohor itu.
Pukul lima pagi pasar apung telah ramai. Dipenuhi para pedagang yang saling menjajakan sayuran. Ollie menatap pada sesosok ibu setengah baya sedang menimbang terong dagangannya. Seorang pembeli dikapal depan sedang menawarnya. Sigap dan penuh senyum. Tiba-tiba kapal ibu tadi terguncang keras,ada pemuda berkapal yang menabraknya. Tanpa ekspresi meminta maaf,pemuda tadi berlalu sambil mengatakan sesuatu yang tak Ollie mengerti. Yang pasti,wajah ibu tadi murung.
Pikiran Ollie terusik. Seperti ada gravitasi yang menariknya mendekati ibu penjual terong tadi dengan perahunya.
"Ibu",panggil Ollie
"Iya nak,mau belanja?",sapa Ibu tadi ramah,tak ada tanda gundah seperti lima menit lalu.
"Jual terong aja bu?"
"Oh kadak,Ibu jual makanan pagi",jawab Ibu itu dalam logat Kalimantan yang kental,sembari mengangsurkan kue-kue ketan khas Banjarmasin pada Ollie.
Ollie tersenyum,ia memang lapar dan segera mengambil kue tadi,dengan masih diatas perahunya sendiri.
"Ibu jualan ini sudah lama?",tanya Ollie dengan pertanyaan khas jurnalisnya.
Pelan seperti aliran Barito yang tenang,Ibu penjual terong tadi berkisah. Konsentrasi Ollie penuh mendengar kisah Ibu yang bernama Jani itu.
"Ibu punya mimpi nak, nanti uang jual terong ini untuk ketemu Allah di Mekkah sana,naik haji",ujar bu Jani sambil tersenyum.
"Nak Ollie harus punya mimpi,apalagi masih muda."
"Iya bu,saya punya mimpi buat menulis,berbagi",sambut Ollie sembari menunduk,sedih.
"Nah itu bagus cita-citanya. Jangan sedih lagi,nak Ollie harus kuat karena sekarang nak Ollie harus jadi panutan buat adik,buat mama papa bahagia disana",telunjuk bu Jani mengacung ke langit.
"Nak Ollie sekarang berpikir,hendak kemana,mau kemana..supaya hidup tidak sia-sia. Tidak apa diremehkan orang lain,mungkin karena diri kita mengizinkan mereka buat itu. Tapi kita harus bangun terus,dan jangan sedih lama-lama", ujar bu Jani memegang tangan Ollie.
"Iya bu Jani,makasih banyak yah bu buat nasehatnya.Saya belajar tahu akan kemana saya", Ollie mencium tangan bu Jani.
Matahari meninggi,bu Jani hendak melanjutkan berjualan,sementara Ollie berjanji untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.

Kenangan Barito masih melekat,dari alur sungai itu Ollie banyak belajar dalam Ollie  yang sekarang.

Seperti diingatkan atas tugasnya sebagai manusia dengan keunikannya sendiri. Ollie kini sedang mengumpulkan modal untuk membuka butiknya. Ia kini memakai hijab demi melindungi kehormatan dirinya. Ia masih seorang teknisi, hanya saja, tanpa mata yang resah yang diganti dengan mata berbinar dan senyum yang cerah. Ia belajar untuk hidup. Ia masih menatap langit malam, tapi kali ini ia selalu menutup malamnya dengan senyum terima kasih untuk apa yang telah ia lalui.
Salah satu yang amat ingin ia kenakan pada wisuda Andi adalah...Ia bisa membayangkan dirinya dalam balutan baju rancangannya sendiri. Dalam baju yang menyatakan ketegaran,keberanian dan senyuman pada kehidupan.
Welcome Salsabeela...
Inilah Ollie kelak dalam balutan kreasinya sendiri yang diangankan dalam butiknya yang bernama salsabeela shop  dalam Rose Hijab in Blue






Kamis, 15 Maret 2012

Jalanan

Aku hidup di jalanan. Bersama bis besar dan truk tanki. Tahukah engkau betapa bersahabatnya aku dengan mereka? Aku mencintai pepohonan yang menggelayuti jalanan. Menatap sawah seperti aku memeluk teman yang kurindukan. Menatap deretan gagah pegunungan nun jauh disana dengan mata berbinar seakan aku sedang dijaga. Menatap teduh pada langit yang selalu tersenyum meski aku gelisah. Tahukah aku telah bersaudara dengan mereka. Dimanapun aku berjalan aku akan selalu menemukan saudaraku,yang sigap bersamaku.
Aku diam menatap kedepan. Aku tidak sedang melamun, aku tidak sedang mengantuk, aku hanya sedang menikmati bercengkerama dengan musikalitas sunyi jalanan. Percayalah, mereka saudaraku saat aku jauh dari rumah.
Aku bertemu banyak orang, menjabat tangan mereka,menatap mata mereka, dan bicara bersama mereka. Aku bersujud dimanapun rumah Allah dibangun. Bersama saudara-saudaraku yang tak kukenali,yang dipersatukan salam yang universal.
Aku tidak berseragam, aku bahkan menyukai sandal jepit. Aku membangun pengertian bagi rekan seperjalananku. Bersama mereka aku menikmati dunia. Dan menebar tawa.
Allah ada dimana aku memandang. Jalanan yang tampak melelahkan, adalah sekumpulan saudara jauhku.
Mungkin takkan lama lagi aku menikmati jalanan. Suatu hari aku akan berhenti. Dan mengenang mereka, dalam kalimat terbatasku.

Purbalingga, 15 Maret 2012
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 09 Maret 2012

Elemen Jurnalis Untuk Insinyur

Pagi ini baca posting status adik saya tentang 9 Elemen Jurnalisme-nya Bill Kovach. Kebetulan ia juga sedang belajar jurnalisme di sebuah lembaga pers mahasiswa di kampusnya - yang sama dengan saya dahulu-. Lalu kok tiba-tiba ingat kalau saya dulu juga getol belajar jurnalisme saat saya sedang kuliah untuk menjadi insinyur. Saya pun kemudian mengingat 9 Elemen Jurnalisme yang melegenda itu.
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.

Dulu saya sempat hafal benar elemen ini, bahkan rela jauh-jauh belajar ke Universitas Udayana bersama teman-teman dari seluruh persma Indonesia. Saat itu kami diajari dengan keras bagaimana mengolah informasi, dikomandani oleh wartawan Pantau dan Tempo. Pagi ini saya merenungkan lagi apa yang pernah saya pelajari. Saya sekarang yang berprofesi sebagai insinyur (alias engineer) dan dahulu sebagai jurnalis, seharusnya ada kaitannya. Dan kedua profesi berseberangan itu saya coba pertemukan lewat elemen jurnalisme diatas.

Profesi apapun menuntut kebenaran (Elemen-1). Insinyur juga harus menyampaikan kebenaran, berlaku benar dan mengejar kebenaran. Insinyur yang lebih terkait dengan hal teknis seharusnya tahu kebenaran mutlak saat dia bermain angka, atau sedang mempertanyakan jalannya sebuah proyek. Elemen ini menjadi wajib jika dipahami.
Elemen kedua bicara tentang loyalitas pada warga. Lalu kepada siapakah insinyur seharusnya loyal? Ia harus loyal kepada dirinya sendiri. Artinya, ia harus menghargai dan setia kepada dirinya sendiri. Jika ini dicapai, maka ia akan mampu melihat dimana loyalitas kemudian diletakkan karena didalam dirinya sudah ada penghormatan pada diri sendiri. Dan ini adalah elemen yang sulit dicapai, meski bukan tidak mungkin. Karena elemen ini akan terganggu oleh banyaknya faktor luar seperti materi dan sikap lingkungan.
Disiplin verifikasi, adalah elemen ketiga. Elemen yang amat diperlukan dalam perjalanan proyek. Jenis kedisiplinan ini akan berpengaruh amat kuat pada tercapainya batas waktu proyek. Sikap ini seharusnya dimiliki oleh semua orang yang terlibat dalam sebuah tim.
Dan elemen keempat menyebut tentang independensi. Artinya insinyur harus bisa melihat kenyataan. Kepentingan dan maksud tertentu bisa berakibat hilangnya independensi. Ia akan dimakan kekuasaan dan kebenaran menjadi buram. Anda mengerti maksud saya.
Yang berkaitan dengan independensi adalah pemantau kekuasaan, elemen kelima. Secara otomatis, orang yang independen ia akan menjadi pemantau kekuasaan yang baik. Karena, ya itu tadi, ia tidak akan punya maksud tertentu atas nafsu kekuasaan.
Insinyur juga harus mau menerima kritik, saran bahkan yang paling menyakitkan sedikitpun, elemen keenam. Buat apa? Jelas kalau ia bisa mengolah informasi tadi, itu akan jadi batu bata yang membantunya memperkuat pondasi diri.
Hidup sebagai insinyur mungkin monoton. Kadang-kadang hanya berupa komputer atau sebuah perangkat. Yang beruntung, ia bisa sampai bosan menyusuri jalan. Elemen ketujuh menyarankan insinyur untuk membubuhkan kreativitas agar hidup (dan yang ia kerjakan) menjadi menarik, selama masih dalam koridor norma, alias relevan.
Elemen kedelapan, insinyur harus membuat peta kerja dan kehidupan untuk memetakan apa yang sedang ia tuju dalam hidupnya. Antara mimpi dan kenyataan. Antara gaji dan kebutuhan. Proporsional.
Elemen terakhir adalah saran pemakaian hati nurani, dalam kehidupan profesinya maupun pribadi. Sehingga ia tidak akan semena-mena pada lingkungan, dan bisa menumbuhkan rasa empati tinggi pada sesama. Juga termasuk mendengarkan hati untuk dirinya sendiri. Kadang karena kesibukan dan atau kebutuhan materi, elemen ini menghilang begitu saja. Dan itulah tantangannya.

Jadi elemen jurnalis ini memang seharusnya bisa diterapkan untuk insinyur. Atau profesi lain.

Happy Enginest ;)




Rabu, 07 Maret 2012

Everything now is blowing in the wind




How many roads must a man walk down,
Before you call him a man?
Yes, and how many seas must a white dove sail,
Before she sleeps in the sand?
Yes, and how many times must a cannon ball fly,
Before they're forever banned?

The answer my friend is blowin' in the wind,
The answer is blowin' in the wind.

How many years can a mountain exist,
Before it is washed to the sea?
Yes, and how many years can some people exist,
Before they're allowed to be free?
Yes, and how many times can a man turn his head,
And pretend that he just doesn't see?

The answer my friend is blowing in the wind,
The answer is blowing in the wind.

How many times must a man look up,
Before he sees the sky?
Yes, and how many ears must one man have,
Before he can hear people cry ?
Yes, and how many deaths will it take till we know,
That too many people have died?

Blowing in the wind - Bob Dylan


Selasa, 06 Maret 2012

The Biggest Wish

Today I sat in a small toilet room during my work hours,and whispered my pray,my only pray,while my tears down. I whispered so softly,from the bottom of my heart. Aku ingin bisa mengundurkan diri. Dalam 26 tahun usiaku,dan sepanjang yang aku ingat saat aku mulai mengerti cara berharap, inilah harapan terbesarku. Mungkin terdengar gila, tapi aku tidak pernah berharap sebesar ini. Saat aku lulus SD , saat murid lain berharap diterima di SMP Negeri, aku tidak berharap apapun. Saat banyak anak berdoa lolos UMPTN,aku juga tidak berharap. Seakan aku tidak pernah meminta dan diberi begitu saja,tapi sebenarnya doaku berisi harapan penjagaan pada keluargaku dariNya. Itu saja. Hari ini,siang ini,aku berharap untuk pertama kalinya demi diriku sendiri, agar aku mampu mengeluarkan diriku dari tempat ini. Kata sabar adalah hal pertama yang aku kuasai,dan hari ini telah habis terbakar. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Aku harus pergi. Aku harus berpikir tentang hidupku,kelainan di mataku, hingga bagaimana cita citaku. Aku tidak tahu bagaimana orang lain mendukungku, meski sejauh ini aku selalu mendukung mereka. Harapan terbesar ada pada Tuhan, aku membutuhkan Ia untuk menuntunku. Tuhan,kuatkan aku untuk mengirimkan surat pengunduran diri. Tuhan,ijinkanlah aku menguatkan diriku sendiri.

Surat keinginan yang terdengar bodoh,tapi aku memang begitu.
---
Kotabaru. Maret 2012
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 05 Maret 2012

The Farewell

Farewell. Hari Senin ini sungguh biru, dalam arti non literal. Saya baru saja berhasil membuka email kantor, dan membaca dua farewell letters. Oh please, should I read it? Farewell letters terasa amat sedih dibaca karena keduanya berasal dari dua teman baik saya saat <a href="sumerep.wordpress.com">dua minggu pelatihan transmisi di Shenzhen Agustus tahun lalu</a>. Surat pertama adalah dari Faizan, pria berhidung mancung dari Pakistan dan kemudian dari Ivan, pria Uganda yang fasih berbahasa mandarin.
Somehow, untuk alasan yang tak saya pahami, terasa sedih untuk melihat perpisahan yang bersanding dengan kenangan waktu kami bersama.
Saat di daratan Tiongkok yang sangat jauh dari area internasional Cina, kami berhubungan layaknya saudara. Bahkan kami lupa dengan bahasa ibu masing-masing. Selama dua minggu bersama, kami sepakat tidak boleh terpisah karena tidak ada satupun dari kami yang memahami huruf kanji Cina. Selain itu, warga Shenzhen mayoritas tidak berbahasa Inggris. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya berada di negeri yang tanpa huruf alphabet dan hanya menghafal kelokan jalan untuk bisa kembali pulang ke hotel?
Saat itu kami bermalam di Hotel Mapple Leaf. Jauh dari kantor pusat kantor saya yang berada di Dameisha, sementara Maple Leaf ada di distrik Nanshan. Saya bersama tujuh orang asing lainnya menghabiskan hari di area Shenzhen. Mereka semua adalah para pejalan kaki yang tangguh, kecuali saya. Mereka masih sangat bugar saat kami telah berjalan kaki selama tiga jam di area Windows of the World , semacam taman mini internasional yang luasnya entah berapa hektar.

Saya bersama Faizan adalah muslim, saat itu adalah waktu Ramadhan. Setiap hari pada jam 7.30 malam, yang waktu itu masih cukup terang di Shenzhen, kami berkelana mencari resto muslim yang amat langka. Pada sebuah senja, kami menemukan resto muslim yang murah meriah. Karena tidak satupun dari kami yang memahami tulisan kanji, sementara para penjual tidak bisa berbahasa inggris, jadilah kami menebak apa yang kami makan. Dan terhidanglah semangkok nasi mengepul yang disiram dengan telur setengah matang yang dicampur tomat segar yang meleleh. Sepuluh ribu rupiah dan saya kenyang.

Sementara bersama Ivan adalah kenangan tentang kebaikan hatinya. Ia pria berkulit hitam yang tingginya sekira dua meter dan pernah menghabiskan masa kuliah di Cina sekitar 5 tahun, meski begitu, ia selalu gagal membaca kanji. Ia cukup baik hati dengan menemani saya merambah pasar elektronik Cina hanya untuk membeli sebuah MP5 player untuk adik dan bapak. Selama tiga jam kami berjalan menyusuri pasar itu, ia selalu berhenti di tiap kios, untuk menanyakan dan menawar barang yang saya cari. Ia juga ikut menemani kami kembali ke Hongkong untuk membantu menterjemahkan sang sopir Cina yang mengantar kami.

Dengan dua pria baik hati tadi, bukankah akan amat sulit untuk membayangkan perpisahan? Meski sebenarnya kami telah berpisah berbulan silam saat itu, dan berjanji untuk saling bertemu lagi meski itu kami tahu nyaris mustahil. Perpisahan waktu itu amat mengharukan, entah mengapa terasa berat untuk pergi bahkan hingga hari ini. Dan kedua pria beda bangsa tadi sudah benar-benar pergi, dari sebuah perusahaan yang mempertemukan kami, dan tidak tahu momentum apalagi yang akan membawa kami kembali.

Saya cukup mengenang saat dua minggu yang menyenangkan itu. Meski kadang saya kesepian karena terasa jauh dari ras saya, tapi mereka seperti keluarga disana.

Bye Izan and Ivan..

For reminder :
muhammadfaizan24@hotmail.com" or "mfaizan08@gmail.
waako.ivan@gmail.com


Minggu, 04 Maret 2012

Binar Titipan Tuhan

I've been travelled to many areas in my country, indeed went to another country. Aku melihat banyak orang dengan segala jenis pekerjaan mereka. Aku melihat mata yang jenuh pada para penjaga toko, aku melihat mata yang tajam pada para satpam, melihat kelembutan pada mata petani, mata redup para pengemudi becak, mata usil para tukang parkir, mata gairah pada para penjual makanan, dan mata lelah pada mataku sendiri.
Aku suka sekali berbicara pada orang lain dengan menatap mata mereka. Seakan aku mampu masuk dan merasakan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku suka menatap dan menemukan bagaimana mereka menjalani hidup. Aku suka melihat mata orang yang bekerja karena ia membutuhkannya dan bukan karena rutinitas. Aku melihat sinar mata para pengusaha, aku bahkan menatap mata seorang kawan wirausaha yang bangkrut untuk mengetahui bagaimana ia didalam sana. Mata mereka mengajariku untuk tetap melaju dan tidak mengeluarkan percikan hujan di sudut mataku sendiri. Aku pernah pergi ke sebuah area di daratan Cina. Aku melihat seorang ibu sedang menjajakan ular goreng. Ia begitu bergairah. Matanya memang sipit, tapi seperti ada kekuatan yang besar yang menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berteriak menjajakan ular gorengnya.
Ia juga selalu tersenyum yang membuat matanya begitu hilang dari wajah kuning orientalnya.
Disini aku melihat langkanya mata yang hidup. Aku dan yang mengitariku sedang bermata sendu. Aku jarang melihat sinar gairah kehidupan yang selalu kucari dan kutemukan di pedesaan. Sepertinya kami adalah gerombolan makhluk rutinity. Rutinitas dan mungkin itu yang membunuh sinar mata kami yang telah Tuhan tanamkan dahulu saat kami lahir.
Mungkin kita akan selalu menyukai binar mata bayi yang lahir, atau berumur beberapa minggu saat ia sudah mulai membuka matanya. Kita selalu menyukainya, semua orang menyukainya dan selalu berharap ia membuka mata melihat kita. Mengapa? Karena kita, tanpa sadar, merindukan binar itu ada dimata kita. Bawah sadar kita merajuk dan menginginkan binar dari Tuhan itu kembali. Kemudian kita merusaknya dengan banyaknya rutinitas pembunuh. Binar itu adalah tanaman kecil dari Tuhan yang Ia titipkan dalam hati bernama impian hidup. Binar itu melemah seiring hilangnya semangat kita. Binar itu memudar saat kita terlalu lama menjadi robot rutinity. Dan yang paling menyedihkan adalah saat kita kembali padaNya dan binar itu tak pernah sempat kita miliki lagi.
Masha Allah. Astagfirullah.
Jenis kehidupan macam apa yang sedang kita jalani hingga kita begitu tega menghilangkan sepasang sinar indah saat kita lahir dulu?

Hidupkan binar kita. Rawatlah tanaman kecil dalam hati kita supaya binar itu kembali menyala, menerangi kehidupan, dan memecah rintik hujan di sudut mata menjadi harapan biru yang syahdu.


Mimpi dan Pekerjaan

Bekerja adalah bagian dari ibadah, menjadi salah satu ibadah yang butuh kerja keras lebih dari ibadah yang lain. Mengapa? Karena bekerja-yang akan membiayai kebutuhan di dunia-nyaris memakan lima puluh persen waktu yang kita miliki dalam seharinya, dan bisa lebih dari itu. Ia menjadi disebut ibadah karena harus dilakukan dengan ikhlas dan -entah apa bahasanya- melepaskan harapan duniawi atas pekerjaan itu. Nah, inilah yang nantinya disebut pekerjaan yang berkah.
Keberkahan pekerjaan akan membawa pada penghidupan yang baik. Baik disini bukan berarti melulu soal gaji nan tinggi dan memangku jabatan. Tapi hasil pekerjaan tadi mampu memenuhi kebutuhan keluarga dengan hati yang tenang.
Menuruti pengalaman, bekerja semacam itu adalah hal tersulit yang harus saya jalani. Ketika kita tidak menyukai salah satu aspek dari sebuah pekerjaan, maka keseluruhan aspek pekerjaan tadi akan bernilai negatif. Selalu seperti itu. Mental kita melemah, kondisi emosional tidak stabil, kesehatan terganggu dan terakhir hubungan dengan sang pemberi rejeki pun terguncang. Saya tidak melebihkan hal ini. Percayalah, pekerjaan yang dibenci dan terus dijalani, akan menjadi bumerang suatu masa nanti. Entah masa depan yang esok hari, setahun lagi atau masa depan di akhirat, karena unsur ketidak ikhlasan di dunia yang bisa menjerumuskan kita masuk neraka.
Begitu hebatnya efek sebuah pekerjaan, memang sebaiknya kita harus mencari pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan hati nurani. Dengarkan suara hati yang pertama kali tentang pekerjaan yang akan engkau ambil, itu adalah yang termurni dan merefleksikan masa depanmu.
Saya terlanjur mengambil pekerjaan yang tidak saya sukai. Bertahun saya mencoba untuk menyukai dan merasa ikhlas didalamnya, dan itu amat sulit. Bahkan di tahun kelima saya bekerja pun, saya masih terus belajar untuk ikhlas menerima konsekuensi apa yang saya pilih.
Menjalani pekerjaan yang tidak disukai juga membutuhkan banyak biaya untuk "pengobatan". Disini bukan soal obat yang dijual di apotik atau pergi ke dokter. Tapi merujuk pada kebutuhan batin kita yang terluka untuk mendapat pengobatan.
Tanpa kita sadari, pengobatan yang otomatis dilakukan oleh alam bawah sadar kita adalah menarik masuk orang lain untuk kita ajak berkeluh kesah, marah pada sesuatu sederhana, makanan berkolesterol, meminum alkohol yang terasa bisa mengguyur apapun yang sedang resah didalam sana, dan narkoba untuk melarikan diri sejenak.
Semua hal diatas membutuhkan uang, dan tidak akan membawa hasil satu butir pasir pun. Saya pernah tanpa sadar melakukan itu. Saat saya membenci pekerjaan saya, kemudian beberapa hubungan terganggu, saya menghabiskan banyak uang untuk bepergian dan membeli banyak benda untuk saya buang beberapa minggu kemudian. Dan memang tidak ada hasil apapun. Makin buruk keadaan kita, makin kita membutuhkan suara dan orang lain untuk mengendapkan luka yang terus ditimpa tadi.
Kemudian saya banyak berbicara pada banyak orang yang terasa mampu mengusir apa yang sakit dalam batin saya. Dan itu juga tidak efektif.
Saya berbicara pada Tuhan untuk meminta penjelasan pada apa yang sedang saya alami dan memohonNya dengan seluruh kekuatan saya untuk diberi keberanian menjalani atau pergi dari sini dengan banyaknya konsekuensi yang harus saya tanggung.
Itu juga belum bekerja dengan baik. Suatu hari saya bercakap dengan seorang teman pegawai negeri yang menurut pengakuannya gajinya amat rendah, dan lingkungan kerja yang amat buruk. Ia hanya berlaku ikhlas, meski itu juga masih ia pelajari. Ia menasehati untuk meniru langkahnya dalam menerima lingkungan dan kejadian dengan ikhlas.
Akhirnya kami bersama belajar untuk menerima atmosfer yang sedang diciptakan untuk kami. Saya sendiri tidak tahu apa yang sedang saya pelajari hari ini, dan terasa amat nyata bahwa batas kesabaran memang sudah nyaris tidak ada. Saya menjalani, kemudian mengumpulkan serpihan keinginan saya untuk dijadikan kekuatan saya menghadapi hari, dan yang terburuk adalah keinginan saya itu tidak pernah berkorelasi dengan pekerjaan saya.
Itu adalah sebuah cara saya untuk berani menghadapi hari. Benar kata Andrea Hirata. Siapapun harus punya mimpi, karena hanya dengan mimpi itulah kita berani menjalani hari.
Andai saya tidak punya mimpi untuk membangun usaha, membuat portal yang menyenangkan, mengumpulkan uang untuk investasi, membuat perpustakaan gratis, mungkin hari ini saya sudah ada di jalanan, menjadi pengamen. Dan melupakan rumah saya selamanya.
Mimpi adalah cara Tuhan menguatkan langkah. Mimpi adalah tanaman kecil dari Tuhan untuk membahagiakan manusia.
Bermimpilah, beranilah.
Maka saya juga amat sangat mendorong orang mencapai mimpi mereka. Apapun itu, kapanpun itu, bagaimanapun itu, meski harus menukar banyak hal. Karena hanya dengan itulah, kita bisa merasakan hidup, dan batin terobati. Kita menjadi sehat, dan hidup kembali.Jangan goyah waktu mimpimu pudar, itu hanya tertunda, kita tidak akan pernah mau kehabisan nafas karena memudarkan mimpi sendiri.

Bermimpilah, hiduplah. Get your God's jobs done.

Aku Mengangguk

Langkahku sedikit bergetar, amat nyata lututku menahan beban yang mendadak berat. Aku menyandarkan diriku pada lorong galeri yang sepi, takut terjatuh. Mengiangkan kalimat yang kulepas baru saja pada Eka.

Sebulan silam.
Kuraih ponselku dengan gembira, memencet nomor Eka. Aku akan pulang sebentar lagi, selain itu aku juga membawa buah tangan dari kota ini. Aku telah berada selama umur jagung di Ujung Pandang. Sudah waktunya kembali ke Jakarta dan berkumpul bersama teman-teman, dan tentu saja tunanganku Eka.

Eka berjanji menjemputku di bandara. Kami punya lusinan rencana indah untuk menghabiskan hari hingga saat pernikahan kami tiba. Tuhan amat sayang padaku. Setelah banyak hal berat kulalui, aku kini bersama orang yang amat menyayangiku, dan oh ya, memujaku.

Hari kepulanganku mendekat dan tanpa kusadari, aku telah mencapai pintu keluar di bandara Jakarta. Hatiku amat sangat berdegup. Aku ingin memeluk Eka, dan itu saja. Setengah lusin kardus, koper dan ransel tak menghalangiku berjalan secepat mungkin menemukan Eka diantara kerumunan penjemput. Tiga bulan bukan waktu yang ringan untuk terpisah dari lingkungan yang engkau sayangi.

Satu jam kemudian, ponselku berdering. Eka menelepon.
"Sayang maaf aku tak bisa menjemputmu. Ada pekerjaan mendadak yang harus kuselesaikan"
"Kamu masih di kantor? Oke tak apa, aku naik taksi. Sudah makan?"
"Maaf ya, besok aku temui kamu setelah jam kantor"
"Oke, allright". Klik, telepon tertutup. Dan aku melambaikan tangan pada calo taksi.

Rasanya menyentuh Jakarta setelah sekian lama melalui waktu di kota lain adalah amat menyenangkan. Bahkan kemacetan pun terasa dirindukan. Aku sedang bersama Eka dan beberapa sahabatku menghabiskan malam akhir pekan disebuah resto di pusat kota. Aku juga menikmati waktu yang kuhabiskan di kota ini. Tapi aku khawatir, akhir-akhir ini Eka terlihat risau. Saat aku mencoba membantunya, ia menepiskannya, dan kembali jadi Eka yang aku kenal. Mungkin hanya aku yang menyadari bahwa gurat mata Eka menjelaskan bahwa ia sedang risau akan sesuatu.

Hari pernikahan mendekat. Aku makin sibuk dengan pekerjaanku dan tentu saja persiapan pernikahan di kotaku Jogja. Eka makin menunjukkan kerisauan, yang coba dengan keras ia sembunyikan. Namun kekhawatiranku tak pernah lama. Eka adalah pria paling romantis akhir-akhir ini. Ia menjadi amat manis dengan membawakan aku bunga, membawa es krim coklat tiap menjemputku, memijit pundakku, dan bahkan ikut berbelanja denganku, dengan sabar dan tanpa mengeluh sedikitpun.

Hari Senin itu aku mendapat tugas kantor ke Bandung hingga akhir pekan. Aku selalu menyukai kota itu. Sudah kubuat semua rencana menyenangkan saat disana. Aku mengabarkan pada Eka dan ia justru ingin menyusulku berlibur saat akhir pekan nanti.

Bersama beberapa rekanku,kami bermobil melewati tol arah Bandung yang indah.  Hari itu pekerjaan dimulai, dan aku tenggelam disana.

Hari kedua di Bandung, konsentrasiku terpecah saat seorang rekan mengulikku.
"Kamu masih jalan sama Eka?"
"Iya dong, kan udah mau nikah, kenapa?"
"Enggak,nanya aja. Gimana bisa yakin?"
"Yakin apa?"
"Sama pernikahan, sama calon suami kamu, sama apa yang ada didepan"
"Ya aku yakin aja, aku dan dia punya tujuan sama, rencana matang, ya jalani aja."
"Hmm, pacaran berapa lama?"
"Udah 9 bulan"
"Yakin waktu segitu cukup buat kenal?"
"Ga tergantung waktu, tapi tergantung gimana kenal satu sama lain aja"
"Good luck yah"
"Kamu kenapa nanya itu?"
"Enggak ada apa-apa, cuma bantu keyakinan kamu aja"

Aneh, aku bahkan terkikik dalam hati. Ada banyak orang yang peduli pada hubunganku dengan Eka akhir-akhir ini. Beberapa bahkan menanyakan persentase keyakinanku. Mungkin ini yang kata orang adalah ujian pra pernikahan. Aku masih tersenyum dan kulanjutkan pekerjaanku.

Pada hari keempat aku diminta pulang ke Jakarta. Kuputuskan untuk pulang pada pagi hari dan mengunjungi dokter kulit langgananku disebuah rumah sakit di pusat Jakarta. Kulit mukaku memerah dan aku hanya tak ingin merusak hari pernikahanku dengan alergi kulit yang kumiliki.

Seperti biasa, dokter ahli tadi memang punya banyak pasien. Aku mendapat nomor antri besar, waktu yang cukup untuk membuatku mengelilingi rumah sakit dan duduk kembali di ruang klinik.

Aku benar-benar melakukannya. Aku mengitari lantai rumah sakit itu, mataku berkeliling bosan dan lalu tertegun.

Eka sedang mendorong seorang gadis diatas kursi roda. Yang aku tahu, gadis itu adalah orang yang gagal ia nikahi karena alasan yang tak kuketahui.

Dulu aku pernah amat menolak membahas apapun tentang gadis ini, hingga topik itu sengaja kulupakan. Dan kini ia ada didepan mataku. Bersama Eka, calon suamiku.

"Eka, ada apa?" aku menghampiri mereka.
"ah? oh, kamu disini?" , Eka nampak gugup dan merona merah.
"Iya, aku diminta pulang. Mbak, apakabar?sakit apa?", jawabku sembari menyalami sang gadis.
"Hey iya, kabar baik", ucapnya pelan dan tertunduk.
"Eva, aku masuk dulu ya, aku temui kamu sebentar lagi", dan Eka berlalu sembari mendorong cepat kursi roda itu.

Kepalaku berputar. Hening dalam hatiku meski suara disekelilingku amat riuh. Aku duduk dan menghela nafas, saat Eka kembali, mataku masih meredup.
"Ia sakit. Dan cuma aku yang bisa dijangkau buat bantu dia"
"Tidak apa, aku mengerti"
"Makasih yah, buat pengertian kamu"
"Jadi itu yang bikin kamu risau belakangan ini?"
"Kamu tahu?"
"Aku melihat"
"Iya, ia sering sakit belakangan ini. Kelelahan mungkin, pekerjaannya amat banyak, pulang larut tiap hari"
"Hmmm, memang harus istirahat total sepertinya. Bawakan banyak buah dan makanan rebusan"
"Kamu mau jenguk dia?"
"Oke, nanti setelah aku ketemu dokter kulitku ya"
"Aku tunggu yah"
Aku mengangguk. Kemudian aku beranjak kearah klinik kulitku.

Sesore itu aku habiskan waktu di ruang rawat inap tempat sang gadis dirawat. Eka menungguinya. Aku membeli banyak buah. Gadis itu nampak kelelahan. Berkali ia menghela nafas, dan Eka mengusap poni yang selalu jatuh menutup mata. Saat Isya menjelang, aku pamit pulang dan Eka mengikutiku hingga pintu keluar.

"Aku tinggal sebentar disini ya"
"Iya tinggal aja, kasian kalau tidak ada yang tunggu"
"Makasih yah"
Aku kembali mengangguk sembari tersenyum.

Beberapa rencana akhir pekan bersama Eka harus dibatalkan karena ia harus menjaga gadis itu. Kemudian aku melampiaskan kekosongan waktu yang jarang kupunya itu bersama para sahabatku yang bertebaran di penjuru kota. Memang menyenangkan bertemu mereka. Apalagi sebagian besar diantaranya telah menikah bahkan beberapa sedang mengandung bayi pertama mereka. Banyak cerita yang kudengar, namun sebagian besar membahagiakan. Mereka antusias bertanya tentang persiapan pernikahanku, dan tak lupa banyak wejangan terucap buatku. Aku tak kalah antusiasnya bertanya dan bercerita.

"Sayang kamu dimana?"
"Aku masih di kos, baru mau belanja sayuran, ada apa?"
"Ketemu yuk di Plaza, makan malam"
"Yuk, sekalian belanja disana kalau gitu"

Malam itu aku bersama Eka menikmati makanan yang nyaris lupa belum pernah kumakan lagi sejak kepulanganku dari Ujung Pandang. Nasi Goreng. Meski terdengar sederhana, namun momennya yang membuatnya istimewa.

"Sayang aku mau bicara"
"Iyaa, aku dengar, apa sih penting banget yah?"
"Tentang pernikahan kita"
"Iya, udah siap yah sekitar delapan puluh persen. Ibuku sudah mengurus nyaris semuanya"
"Aku harus bilang soal pernikahan kita"
"Gimana? Ada perubahan?"
"Aku ingin membatalkan pernikahan kita. "
"Maksudmu?"
"Iya, maaf aku harus bilang ini, tapi aku tak bisa lanjutkan lagi hubungan kita. Aku ingin menikahi gadis itu"
"Kamu serius?"
"Aku serius"
"Bagaimana denganku?"
"Aku minta maaf buat semuanya. Aku bakal menghadap keluarga kamu untuk meminta ampun. Aku akan membuatmu tidak bahagia kalau aku harus terus menguji rasa yang aku punya"
"Aku bahagia sama kamu"
"Tapi aku tidak"

Malam makin kelabu. Aku mendengar halilintar yang diciptakan hanya untukku. Aku tidak menangis, hanya mulutku terkatup dan lagi-lagi seperti biasa, aku hanya mengangguk.

"Kalau kamu bahagia, aku akan ikut bahagia. Tapi lain kali, kalau kamu kejar bahagiamu, jangan kamu korbankan rasa bahagia orang lain"

Kurasakan ia menggenggam tanganku, memelukku, mungkin untuk yang terakhir. Lalu ia bergegas pergi. Aku melihat bayang punggungnya dan hatiku berbisik seolah itu adalah kalimat yang seharusnya kudengar sejak sembilan bulan silam.

....Ia mencoba menyayangiku dan ia tidak pernah mampu.......

Potongan hitam putih rekaman kenyataan yang aku lihat dulu mulai berdatangan kini membangunkanku. Eka mengantarnya ke rumah sakit saat hari kepulanganku dari Ujung Pandang. Eka merangkulnya. Eka membawakan bubur putih untuknya. Aku bersama Eka menyiapkan buket bunga untuk kadonya. Eka memeluknya. Eka mengantarnya pulang. Eka menemaninya setiap akhir pekan. Eka menutupi perasaannya dengan berbaik hati padaku. Eka melakukannya. Dan aku mengangguk disetiap waktu untuknya. Aku mengangguk karena disetiap anggukan itu aku melihat gurat risau Eka menghilang dari matanya. Dan aku menolak mendengar suara hatiku yang ternyata sedang merintih.

Langkahku sedikit bergetar, amat nyata lututku menahan beban yang mendadak berat. Aku menyandarkan diriku pada lorong galeri yang sepi, takut terjatuh. Mengiangkan kalimat yang kulepas baru saja pada Eka.

"Nikahilah ia, dan berbahagialah"

Eka mengangguk, lalu semuanya gelap.

Sabtu, 03 Maret 2012

Untuk Tuhan

Tuhan,
Ijinkan hatiku Engkau letakkan pada hati yang menurutMu tepat bagi hatiku
Ijinkan ia menggenggamnya hingga aku bisa meletakkan lingkaran hatiku agar tak terjatuh lagi

Tuhan,
Berikan aku cahayaMu untuk menuntunku menuju hati yang tepat
Agar aku bisa menujuMu bersamanya

Tuhan,
Jika ia adalah hati yang tepat yang Engkau maksud
Hilangkanlah keraguan meski sebulir pasirpun dari hatiku

Tuhan,
Rangkullah kami waktu kami berjalan di bumiMu yang agung
dibawah langit yang temaram
agar penyatuan cinta kami menjadi keihklasan akanMu

Tuhan,
Aku iLma, memohon dari bawah langitMu
Untuk masa yang akan datang.

Amin.

Jumat, 02 Maret 2012

Hedonic Threadmill

Hari ini menghabiskan sisa hari bebas minggu ini di Surabaya, lokasi tepatnya di Hotel Singgasana kamar 115. Well, overall hotel ini amat memuaskan. Ruang kamarnya luas dan melegakan. Lalu ada taman disepanjang selasar kamar. Tidak bertingkat dan udara sejuk. Makanannya juga enak. Eh jadi serasa iklan yah hehehe.
Hanya tinjauan jujur sih sebenarnya. Mengingat kebutuhan duniawi makin menguras energi, ada baiknya kembali mendekat pada alam kan? ^_^.
Mau cerita soal jogging hedonic belakangan ini. Ada sepasang sepatu wedges yang amat sangat ingin dibeli. Ia berlapis kulit dan bersol karet, lalu ada unsur kayu ringannya, entah bahan apa. Lalu yang membuatnya amat nyaman karena ia empuk dan sooooft sekali. Pada detik pertama aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Saat itu ia terpajang di galeri Everbest Plaza Semanggi Jakarta. Kucoba dan ternyata , entah-bagaimana-, ia fit dengan kakiku. Ukuran 38 dan well, it's just that into me. Harga tertera Rp.900.900,- See? Nyaris Satu Juta.
Mungkin untuk umat Jakarta yang mayoritas berpenampilan luar biasa, harga itu bisa langsung masuk akal. Buatku tidak. Bayangkan, harga itu nyaris mendekati cicilan rumahku. Dan harga itu lebih besar daripada harga sewa kamar kosku. Jadi siapa sih disini yang miskin dan kaya? terlihat jelas hanya dari harga sepatu.
Hari berlalu dan aku melupakan sepatu impian. Beberapa minggu kemudian, aku bertandang ke Surabaya dan tak sengaja menemukan galeri Everbest di Mall TP3. Oh well, kakiku melangkah masuk dan mendekati sang kembaran wedges Jakarta. Dia seharga Rp.1.000.900,- WTH. Aku nyaris berteriak karena harganya amat cantik. Bukan berarti aku membeli. Aku hanya girang entah mengapa. Seperti aku bertemu seseorang yang amat kurindukan dan aku memeluknya. Aku tidak membelinya, aku hanya memeluknya beberapa saat, kemudian mencoba berjalan dengannya dan aku lega.
Keluar dari galeri itu, aku sengaja berjalan mencari setiap galeri sepatu untuk mencari wedges sepadan. Aku menemukan banyak wedges. Kucoba satu persatu. Bahkan untuk wedges berlabel leather shoes. Ada sepasang wedges karet yang seharga 200 ribu, dari Sketchers. Nyaman dan nyaris kubeli kalau tidak mengingat bahwa aku tidak memerlukannya. Dan setelah mencoba sana sini serta melakukan perbandingan kualitas dan kalkulatif, aku menyimpulkan, harga yang ditawarkan Everbest untuk wedges leathernya memang amat masuk akal. Aku pun pulang dan bisa menerima kenyataan bahwa harga sepadan dengan kenyamanan yang mampu ditawarkan. Seperti hotel Singgasana yang mahal sebanding dengan kenyamanan yang mereka berikan.
Begitulah Hedonic Threadmill. Seperti tanpa henti mengenai materi. Dan threadmill yang cukup masuk akal mengingat manusia menghasilkan uang memang demi kenyamanan yang mereka inginkan di dunia.

Juga tentang wedges Everbest. Ia berharga karena ia nyaman. Suatu hari aku akan melakukan threadmill demi wedges yang amat nyaman ini. :) Insya Allah

PS : Baru sekarang aku jatuh cinta pada sebuah benda. Oh Allah, wanita bermode asal-asalan ini untuk pertama kalinya selama 26 tahun hidupnya, menyatakan cinta pada sepatu. Maafkan.



Kamis, 01 Maret 2012

Cara Menurut Aku

Cara termudah buat jatuh adalah meletakkan kaki kirimu didepan kaki kananmu sendiri.
 Cara terbaik buat bangkit adalah mengenali dimana tempatmu jatuh.
Cara terburuk untuk hidup adalah dengan mengamati hidup orang lain
Cara tergundah untuk mencintai adalah berpikir selalu benar
Cara termalas untuk mati adalah dengan tidak punya apapun untuk dimakan
Cara tercepat untuk bahagia adalah tersenyum
Cara terkejam untuk membenci adalah berbuat baik
Cara termulia untuk tertawa adalah memberi
Cara terbodoh untuk memahami adalah dengan membaca ini 

Happy great life!

Cheers :)