Minggu, 04 Maret 2012

Binar Titipan Tuhan

I've been travelled to many areas in my country, indeed went to another country. Aku melihat banyak orang dengan segala jenis pekerjaan mereka. Aku melihat mata yang jenuh pada para penjaga toko, aku melihat mata yang tajam pada para satpam, melihat kelembutan pada mata petani, mata redup para pengemudi becak, mata usil para tukang parkir, mata gairah pada para penjual makanan, dan mata lelah pada mataku sendiri.
Aku suka sekali berbicara pada orang lain dengan menatap mata mereka. Seakan aku mampu masuk dan merasakan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku suka menatap dan menemukan bagaimana mereka menjalani hidup. Aku suka melihat mata orang yang bekerja karena ia membutuhkannya dan bukan karena rutinitas. Aku melihat sinar mata para pengusaha, aku bahkan menatap mata seorang kawan wirausaha yang bangkrut untuk mengetahui bagaimana ia didalam sana. Mata mereka mengajariku untuk tetap melaju dan tidak mengeluarkan percikan hujan di sudut mataku sendiri. Aku pernah pergi ke sebuah area di daratan Cina. Aku melihat seorang ibu sedang menjajakan ular goreng. Ia begitu bergairah. Matanya memang sipit, tapi seperti ada kekuatan yang besar yang menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berteriak menjajakan ular gorengnya.
Ia juga selalu tersenyum yang membuat matanya begitu hilang dari wajah kuning orientalnya.
Disini aku melihat langkanya mata yang hidup. Aku dan yang mengitariku sedang bermata sendu. Aku jarang melihat sinar gairah kehidupan yang selalu kucari dan kutemukan di pedesaan. Sepertinya kami adalah gerombolan makhluk rutinity. Rutinitas dan mungkin itu yang membunuh sinar mata kami yang telah Tuhan tanamkan dahulu saat kami lahir.
Mungkin kita akan selalu menyukai binar mata bayi yang lahir, atau berumur beberapa minggu saat ia sudah mulai membuka matanya. Kita selalu menyukainya, semua orang menyukainya dan selalu berharap ia membuka mata melihat kita. Mengapa? Karena kita, tanpa sadar, merindukan binar itu ada dimata kita. Bawah sadar kita merajuk dan menginginkan binar dari Tuhan itu kembali. Kemudian kita merusaknya dengan banyaknya rutinitas pembunuh. Binar itu adalah tanaman kecil dari Tuhan yang Ia titipkan dalam hati bernama impian hidup. Binar itu melemah seiring hilangnya semangat kita. Binar itu memudar saat kita terlalu lama menjadi robot rutinity. Dan yang paling menyedihkan adalah saat kita kembali padaNya dan binar itu tak pernah sempat kita miliki lagi.
Masha Allah. Astagfirullah.
Jenis kehidupan macam apa yang sedang kita jalani hingga kita begitu tega menghilangkan sepasang sinar indah saat kita lahir dulu?

Hidupkan binar kita. Rawatlah tanaman kecil dalam hati kita supaya binar itu kembali menyala, menerangi kehidupan, dan memecah rintik hujan di sudut mata menjadi harapan biru yang syahdu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar