Minggu, 04 Maret 2012

Aku Mengangguk

Langkahku sedikit bergetar, amat nyata lututku menahan beban yang mendadak berat. Aku menyandarkan diriku pada lorong galeri yang sepi, takut terjatuh. Mengiangkan kalimat yang kulepas baru saja pada Eka.

Sebulan silam.
Kuraih ponselku dengan gembira, memencet nomor Eka. Aku akan pulang sebentar lagi, selain itu aku juga membawa buah tangan dari kota ini. Aku telah berada selama umur jagung di Ujung Pandang. Sudah waktunya kembali ke Jakarta dan berkumpul bersama teman-teman, dan tentu saja tunanganku Eka.

Eka berjanji menjemputku di bandara. Kami punya lusinan rencana indah untuk menghabiskan hari hingga saat pernikahan kami tiba. Tuhan amat sayang padaku. Setelah banyak hal berat kulalui, aku kini bersama orang yang amat menyayangiku, dan oh ya, memujaku.

Hari kepulanganku mendekat dan tanpa kusadari, aku telah mencapai pintu keluar di bandara Jakarta. Hatiku amat sangat berdegup. Aku ingin memeluk Eka, dan itu saja. Setengah lusin kardus, koper dan ransel tak menghalangiku berjalan secepat mungkin menemukan Eka diantara kerumunan penjemput. Tiga bulan bukan waktu yang ringan untuk terpisah dari lingkungan yang engkau sayangi.

Satu jam kemudian, ponselku berdering. Eka menelepon.
"Sayang maaf aku tak bisa menjemputmu. Ada pekerjaan mendadak yang harus kuselesaikan"
"Kamu masih di kantor? Oke tak apa, aku naik taksi. Sudah makan?"
"Maaf ya, besok aku temui kamu setelah jam kantor"
"Oke, allright". Klik, telepon tertutup. Dan aku melambaikan tangan pada calo taksi.

Rasanya menyentuh Jakarta setelah sekian lama melalui waktu di kota lain adalah amat menyenangkan. Bahkan kemacetan pun terasa dirindukan. Aku sedang bersama Eka dan beberapa sahabatku menghabiskan malam akhir pekan disebuah resto di pusat kota. Aku juga menikmati waktu yang kuhabiskan di kota ini. Tapi aku khawatir, akhir-akhir ini Eka terlihat risau. Saat aku mencoba membantunya, ia menepiskannya, dan kembali jadi Eka yang aku kenal. Mungkin hanya aku yang menyadari bahwa gurat mata Eka menjelaskan bahwa ia sedang risau akan sesuatu.

Hari pernikahan mendekat. Aku makin sibuk dengan pekerjaanku dan tentu saja persiapan pernikahan di kotaku Jogja. Eka makin menunjukkan kerisauan, yang coba dengan keras ia sembunyikan. Namun kekhawatiranku tak pernah lama. Eka adalah pria paling romantis akhir-akhir ini. Ia menjadi amat manis dengan membawakan aku bunga, membawa es krim coklat tiap menjemputku, memijit pundakku, dan bahkan ikut berbelanja denganku, dengan sabar dan tanpa mengeluh sedikitpun.

Hari Senin itu aku mendapat tugas kantor ke Bandung hingga akhir pekan. Aku selalu menyukai kota itu. Sudah kubuat semua rencana menyenangkan saat disana. Aku mengabarkan pada Eka dan ia justru ingin menyusulku berlibur saat akhir pekan nanti.

Bersama beberapa rekanku,kami bermobil melewati tol arah Bandung yang indah.  Hari itu pekerjaan dimulai, dan aku tenggelam disana.

Hari kedua di Bandung, konsentrasiku terpecah saat seorang rekan mengulikku.
"Kamu masih jalan sama Eka?"
"Iya dong, kan udah mau nikah, kenapa?"
"Enggak,nanya aja. Gimana bisa yakin?"
"Yakin apa?"
"Sama pernikahan, sama calon suami kamu, sama apa yang ada didepan"
"Ya aku yakin aja, aku dan dia punya tujuan sama, rencana matang, ya jalani aja."
"Hmm, pacaran berapa lama?"
"Udah 9 bulan"
"Yakin waktu segitu cukup buat kenal?"
"Ga tergantung waktu, tapi tergantung gimana kenal satu sama lain aja"
"Good luck yah"
"Kamu kenapa nanya itu?"
"Enggak ada apa-apa, cuma bantu keyakinan kamu aja"

Aneh, aku bahkan terkikik dalam hati. Ada banyak orang yang peduli pada hubunganku dengan Eka akhir-akhir ini. Beberapa bahkan menanyakan persentase keyakinanku. Mungkin ini yang kata orang adalah ujian pra pernikahan. Aku masih tersenyum dan kulanjutkan pekerjaanku.

Pada hari keempat aku diminta pulang ke Jakarta. Kuputuskan untuk pulang pada pagi hari dan mengunjungi dokter kulit langgananku disebuah rumah sakit di pusat Jakarta. Kulit mukaku memerah dan aku hanya tak ingin merusak hari pernikahanku dengan alergi kulit yang kumiliki.

Seperti biasa, dokter ahli tadi memang punya banyak pasien. Aku mendapat nomor antri besar, waktu yang cukup untuk membuatku mengelilingi rumah sakit dan duduk kembali di ruang klinik.

Aku benar-benar melakukannya. Aku mengitari lantai rumah sakit itu, mataku berkeliling bosan dan lalu tertegun.

Eka sedang mendorong seorang gadis diatas kursi roda. Yang aku tahu, gadis itu adalah orang yang gagal ia nikahi karena alasan yang tak kuketahui.

Dulu aku pernah amat menolak membahas apapun tentang gadis ini, hingga topik itu sengaja kulupakan. Dan kini ia ada didepan mataku. Bersama Eka, calon suamiku.

"Eka, ada apa?" aku menghampiri mereka.
"ah? oh, kamu disini?" , Eka nampak gugup dan merona merah.
"Iya, aku diminta pulang. Mbak, apakabar?sakit apa?", jawabku sembari menyalami sang gadis.
"Hey iya, kabar baik", ucapnya pelan dan tertunduk.
"Eva, aku masuk dulu ya, aku temui kamu sebentar lagi", dan Eka berlalu sembari mendorong cepat kursi roda itu.

Kepalaku berputar. Hening dalam hatiku meski suara disekelilingku amat riuh. Aku duduk dan menghela nafas, saat Eka kembali, mataku masih meredup.
"Ia sakit. Dan cuma aku yang bisa dijangkau buat bantu dia"
"Tidak apa, aku mengerti"
"Makasih yah, buat pengertian kamu"
"Jadi itu yang bikin kamu risau belakangan ini?"
"Kamu tahu?"
"Aku melihat"
"Iya, ia sering sakit belakangan ini. Kelelahan mungkin, pekerjaannya amat banyak, pulang larut tiap hari"
"Hmmm, memang harus istirahat total sepertinya. Bawakan banyak buah dan makanan rebusan"
"Kamu mau jenguk dia?"
"Oke, nanti setelah aku ketemu dokter kulitku ya"
"Aku tunggu yah"
Aku mengangguk. Kemudian aku beranjak kearah klinik kulitku.

Sesore itu aku habiskan waktu di ruang rawat inap tempat sang gadis dirawat. Eka menungguinya. Aku membeli banyak buah. Gadis itu nampak kelelahan. Berkali ia menghela nafas, dan Eka mengusap poni yang selalu jatuh menutup mata. Saat Isya menjelang, aku pamit pulang dan Eka mengikutiku hingga pintu keluar.

"Aku tinggal sebentar disini ya"
"Iya tinggal aja, kasian kalau tidak ada yang tunggu"
"Makasih yah"
Aku kembali mengangguk sembari tersenyum.

Beberapa rencana akhir pekan bersama Eka harus dibatalkan karena ia harus menjaga gadis itu. Kemudian aku melampiaskan kekosongan waktu yang jarang kupunya itu bersama para sahabatku yang bertebaran di penjuru kota. Memang menyenangkan bertemu mereka. Apalagi sebagian besar diantaranya telah menikah bahkan beberapa sedang mengandung bayi pertama mereka. Banyak cerita yang kudengar, namun sebagian besar membahagiakan. Mereka antusias bertanya tentang persiapan pernikahanku, dan tak lupa banyak wejangan terucap buatku. Aku tak kalah antusiasnya bertanya dan bercerita.

"Sayang kamu dimana?"
"Aku masih di kos, baru mau belanja sayuran, ada apa?"
"Ketemu yuk di Plaza, makan malam"
"Yuk, sekalian belanja disana kalau gitu"

Malam itu aku bersama Eka menikmati makanan yang nyaris lupa belum pernah kumakan lagi sejak kepulanganku dari Ujung Pandang. Nasi Goreng. Meski terdengar sederhana, namun momennya yang membuatnya istimewa.

"Sayang aku mau bicara"
"Iyaa, aku dengar, apa sih penting banget yah?"
"Tentang pernikahan kita"
"Iya, udah siap yah sekitar delapan puluh persen. Ibuku sudah mengurus nyaris semuanya"
"Aku harus bilang soal pernikahan kita"
"Gimana? Ada perubahan?"
"Aku ingin membatalkan pernikahan kita. "
"Maksudmu?"
"Iya, maaf aku harus bilang ini, tapi aku tak bisa lanjutkan lagi hubungan kita. Aku ingin menikahi gadis itu"
"Kamu serius?"
"Aku serius"
"Bagaimana denganku?"
"Aku minta maaf buat semuanya. Aku bakal menghadap keluarga kamu untuk meminta ampun. Aku akan membuatmu tidak bahagia kalau aku harus terus menguji rasa yang aku punya"
"Aku bahagia sama kamu"
"Tapi aku tidak"

Malam makin kelabu. Aku mendengar halilintar yang diciptakan hanya untukku. Aku tidak menangis, hanya mulutku terkatup dan lagi-lagi seperti biasa, aku hanya mengangguk.

"Kalau kamu bahagia, aku akan ikut bahagia. Tapi lain kali, kalau kamu kejar bahagiamu, jangan kamu korbankan rasa bahagia orang lain"

Kurasakan ia menggenggam tanganku, memelukku, mungkin untuk yang terakhir. Lalu ia bergegas pergi. Aku melihat bayang punggungnya dan hatiku berbisik seolah itu adalah kalimat yang seharusnya kudengar sejak sembilan bulan silam.

....Ia mencoba menyayangiku dan ia tidak pernah mampu.......

Potongan hitam putih rekaman kenyataan yang aku lihat dulu mulai berdatangan kini membangunkanku. Eka mengantarnya ke rumah sakit saat hari kepulanganku dari Ujung Pandang. Eka merangkulnya. Eka membawakan bubur putih untuknya. Aku bersama Eka menyiapkan buket bunga untuk kadonya. Eka memeluknya. Eka mengantarnya pulang. Eka menemaninya setiap akhir pekan. Eka menutupi perasaannya dengan berbaik hati padaku. Eka melakukannya. Dan aku mengangguk disetiap waktu untuknya. Aku mengangguk karena disetiap anggukan itu aku melihat gurat risau Eka menghilang dari matanya. Dan aku menolak mendengar suara hatiku yang ternyata sedang merintih.

Langkahku sedikit bergetar, amat nyata lututku menahan beban yang mendadak berat. Aku menyandarkan diriku pada lorong galeri yang sepi, takut terjatuh. Mengiangkan kalimat yang kulepas baru saja pada Eka.

"Nikahilah ia, dan berbahagialah"

Eka mengangguk, lalu semuanya gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar