Rabu, 08 Februari 2012

The New World, The Marriage

I thought about marriage

Akhir-akhir ini aku berpikir tentang pernikahan. Hey, aku bukan sedang ingin menikah atau dalam tahap desperate menunggu untuk dilamar. Stop it, bukan itu. Aku sedang memikirkan sebuah dunia baru bernama pernikahan.
Kata Benjamin Disraeli, pernikahan itu adalah satu-satunya hal dengan resiko terbesar. Namun tidak ada yang lebih membahagiakan daripada sebuah pernikahan yang bahagia.
Nah, pada usiaku yang 26 tahun ini, aku justru sedang giat memikirkan dunia itu sementara kawan-kawan dekatku telah memiliki buah perkawinan, ada yang satu ada yang sudah menghasilkan dua. Apa? Babies. 
Aku sedang mengeksplorasi apa itu pernikahan. Dan memang semakin dipelajari dengan perasaan pecundang, dunia itu seakan penuh ancaman. Bagaimana tidak. Aku harus hidup hingga mati bersama seseorang pria yang aku cinta tentu saja, kemudian membagi banyak hal dengannya, dan menghasilkan satu atau dua anak manusia yang harus aku pertanggung jawabkan pada Ilahi kelak. Bukankah itu lebih dari cukup untuk membuat seorang pecundang mundur? I mean, sampai mati dengan orang yang sama dalam satu lokasi berbagi segalanya dan bertanggung jawab dengan segala hal. Aku ulang tebalkan. Segalanya. 
Apakah seorang pecundang akan kuat menanggung hal itu? Bukankah hidup jauh lebih mudah dengan menjadi tunggal dan tanpa tanggung jawab? Dan apakah pecundang yang menikah akan selalu berakhir dengan perceraian hanya beberapa bulan atau tahun setelah pernikahannya yang megah?
Oh God, tapi tunggu. Banyak orang ingin menikah. Dan banyak orang menikah mengaku bahagia. Dan banyak orang menikah dengan anak mengaku menjadi lebih bahagia. Is that a clue? Not. Disraeli sendiri jelas punya dua pandangan yang kontradiktif hanya dengan dua kalimat untuk mendefinisikan apa itu pernikahan. Jelas itu adalah resiko ketika pecundang memasukinya, dan menjadi hal terindah saat itu dijalani oleh kaum optimistik.
Dan apakah pernikahan juga sebagai legalitas ego dan penyaluran seks? Agar tidak berzina, kata agama. Agar halal semua bentuk gerakan seksual. Apakah hanya itu? Aduh, melihat gerbangnya pun aku tak sudi.

Bisakah seseorang melupakan sebentar..semacam waktu untuk -wait-a-moment- masalah legalitas seksualitas melalui dunia pernikahan? Come on.
Kuberi tahu pandanganku. Pernikahan adalah tentang berbagi ego. Means, kita tidak boleh memiliki ego kita sendiri dan melupakan pasangan kita. Adalah tentang berbagi ruang. Means, kamu harus selalu menyediakan ruangan di hati kamu untuk menerima pasangan kamu, sampai mati. Sekaligus ruang ditempat tidur yang sama. Di ruang tidur yang sama. Di dapur. Di rumah. Di mobil. Di kamar mandi.  Adalah tentang berbagi materi. Kamu harus membagi apapun yang kamu hasilkan dan jangan pernah klaim itu adalah milikmu pribadi. Kutegaskan bahwa berbagi materi jauh berbeda dengan perasaanmu saat bersedekah pada anak yatim atau memberi oleh-oleh untuk adik atau orang tuamu. Itu pasti jauh berbeda. Adalah tentang membagi hasrat seksualmu tanpa harus terlihat mesum dan -video porno-. Bisakah kita melakukan seks yang elegan saat pernikahan? Aku tidak pernah mendapat jawaban ini dari orang-orang yang sudah menikah.
Sorry, apakah susunan definisi diatas terdengar mengancam? Tentu saja bagi pecundang (semacam aku mungkin) dunia bernama pernikahan adalah ancaman bagi eksistensialitas pribadi. Bagi ego dan harga diri.

Beri aku waktu bernafas.

Hey, bagaimana kalau aku sekarang beralih masuk menjadi kaum optimistik? Yang memandang romantika pernikahan sebagai pembuktian cinta. Bagi yang percaya cinta dan pernikahan sebagai simbol, ini adalah dunia yang tepat. Bukankah menyenangkan selalu bersama dengan orang yang kita cinta sepanjang waktu sampai ajal memisahkan. Dan kemudian mendapat hadiah berupa satu atau dua orang anak yang akan menjadi tiket kita ke surga kelak?

Stop it.

Itu adalah cerita drama puteri-puteri kartun di TV.

Aku masih mempercayai dunia pernikahan. Dan suatu hari aku akan ada disana. Tapi tidak hari ini atau bulan depan. Ketakutanku adalah memasukinya tanpa aku siap menjadi seorang makmum, seorang istri, seorang ibu, seorang ahli pembagi.

Tapi memasukinya bersama orang yang dicintai dan mencintai kita, bukankah itu adalah petualangan terindah yang pernah ada? Dan menendang keras pantat si jiwa pecundang kita?

One day, I will have that wedding :)
One day...

PS :
Stop talking about sex legality under marriage. I wanna pug.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar