Kamis, 09 Februari 2012

Menjadi Jakarta

Magrib ini pulang sendirian. Melewati trotoar Mega Kuningan yang cenderung diramaikan karyawan pulang kantor. Aku warga Jogja dan hari ini aku masih belajar untuk menjadi Jakarta. Dimulai pada pagi hari yang riuh, aku membiasakan diri dengan suara kehidupan dalam gang didepan kamar kosku. Kemudian suara bayi dan balita menangis, para ibu menghardik, musik odong-odong menggema, dan percakapan para bapak meliuk diantaranya. Oke, bagi yang terbiasa hidup di area Jawa Tengah yang senyap, melodi pagi di gang Jakarta bisa menjadi pembunuh telinga. Dan aku ternyata terbiasa dengan melodi mereka. Kemudian turun satu lantai dari kamar kosku, akan kutemui jalanan gang yang sebenarnya. Jika gang didefinisikan sebagai jalanan kecil yang muat dilintasi manusia, maka gang di Jakarta adalah jenis yang luar biasa. Ia mampu dilintasi oleh orang, motor, penjual makanan pikul,dan gerobak mie ayam bakso. Dan ditengah-tengah lebar gang itu, ada anak-anak kecil bermain berlarian dan ada yang sempat main bola, dan tak lupa, orang-orang yang duduk di pinggiran gang sedang menyantap sarapan mereka tanpa mimik terusik sedikitpun.
Gang sangat dinamis, sekaligus menyimpan kenyataan hidup ibukota yang sebenarnya. Yang biasanya disembunyikan dengan amat sangat rapi oleh pemerintah pesolek dan pencari citra. Mereka sukses menyembunyikan got-got kotor yang mengendap dan tersumbat. Menyisakan aroma menyesakkan disepanjang jalanan gang. Got itu hanya ditutupi dan tanpa pernah disentuh untuk sekedar diusahakan untuk mengalir. Begitulah gang yang ada di dekat kosku. Setelahnya, tinggallah aku melangkah menuju sebuah bangunan bertingkat yang menjulang, mall Ambassador.
Mall yang berlokasi di Jalan Satrio ini terasa seperti ironi yang amat manis. Pahit tapi tidak ada yang terusik. Sepertinya semua warga Jakarta yang hidup dibelakang mall, yang notabene adalah gang, tidak merasa ada masalah dengan ironi didepan mata. Mall yang menutupi sebagian besar kekusutan ibukota, dan itu diterima dengan baik oleh warganya yang berdesakan hidup di belakangnya. Jakarta oh Jakarta.
Setelah menyeberangi Mall Ambassador, aku akan menemukan beberapa pengemis yang sedang memeluk bayi atau memainkan monyet bertopeng. Pengemis disini mungkin bukan sebenar-benarnya orang yang sudah tak berdaya apapun dan patut dikasihi. That's why pemkot DKI mengeluarkan peraturan larangan memberi uang pada pengemis, dan merekomendasikan bantuan disalurkan kepada badan sosial yang ada. Karena pengemis, bagi Jakarta, adalah profesi. Sama seperti sales, wartawan, tukang ojekm dan aku, engineer.
Aku pernah menyaksikan sendiri seorang pengemis berpakaian compang camping (Eh, mana ada pengemis bersetelan Channel?) sedang memainkan ponsel sementara satu tangannya tengadah meminta-minta. Ia duduk manis di jembatan penyeberangan depan Mid Plaza Jalan Sudirman. Oh la la...
Lalu sesampainya di kantor, aku akan mulai beradaptasi dengan situasi perkantoran a la Jakarta pada umumnya. Dinamis, riuh, berisik, sibuk, dizzy, hedon dan treadmill duniawi. Semerbak parfum beterbangan lepas ke udara AC kantor. Wanita-wanita usia muda berlalu lalang dalam balutan termodern seakan display toko busana pindah ke kantor. Dengan sepatu berhak tinggi yang membuat otot kaki berkemungkinan terkena varises. Dan para pria dalam setelan rapi atau serampangan dan mata merah. Hmmm, aku suka atmosfer ini. No time for being human. Human being is a shit here.
Seperti itulah kantor. Dimanapun di Jakarta. Nyaris sama. Atau mungkin memang atmosfer kapitalis yang membuat sebuah kantor bisa menjadi ladang tempur manusia.
Saat pertama dulu, aku tak bisa menerima kepindahanku ke ibukota. Aku begitu membenci kerumitan Jakarta. Keningku berkerut tak suka. Banyak hal aku tak setuju. Dan aku masih harus ada disana.
Dasarnya manusia, ia adalah makhluk dengan kemampuan adaptasi tinggi, disadari atau tidak. Roda alami itu juga berputar buatku. Aku pun akhirnya beradaptasi, dan terus belajar menjadi bagian dari Jakarta sampai hari ini.
Suatu hari aku berencana berdiam disini hingga waktu yang belum kubatasi. Aku merasa tak perlu memahami Jakarta. Ia sudah cukup rumit untuk dibuka polanya dan ditelusuri satu per satu. Ia sudah ada. Dan ia sudah terbentuk. Dan aku sedang bergerak didalamnya. Ia terlalu besar untukku, maka yang aku lakukan hanya menjaganya sejauh jangkauanku untuk membuatnya layak dan nyaman buatku. Lalu menarik nafas dalam-dalam. Aku melihat betapa banyak hal tersedia di Jakarta. Dan pilihan ada di tangan kita.

Oooh menjadi Jakarta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar