Kamis, 02 Januari 2014

Mengapa Masih Tertawa

Orang kadang kali bertanya dan lebih sering tertawa pada keadaan orang lain. Orang mentertawakan pekerja buruh pabrik,tukang parkir,dan mungkin tukang sapu di kantor. Mungkin bukan tertawa secara literal,tetapi merendahkan. Ada juga yang memberi penghakiman pada mereka yang sudah berusia mapan tetapi belum mendapatkan pasangan. Lalu yang terakhir, melirik sinis pada pasangan yang belum memiliki keturunan.
Kapan kita akan mulai berhenti bersikap seperti itu?
Logikanya. Saat seorang pimpinan memberikan tugas pada rekan kerja kita,mungkinkah kita tertawa dan mungkin sinis? Padahal rekan tadi belum tentu menikmati tugasnya. Dan saat kita tertawa,mungkin pimpinan tadi juga tersinggung karena perilaku kita.
Logika ini kita ambil sebagai halnya bahwa pekerjaan atau kita sebut rejeki, jodoh dan keturunan adalah tugas dari Tuhan untuk manusia. Saat kita tertawa merendahkan ketiga hal tersebut atas diri orang lain, sadarkah bahwa kita juga sedang merendahkan Tuhan. Karena tiga hal tadi adalah hak prerogatif Tuhan yang sama sekali diluar kendali keputusan manusia.
Layakkah kita masih tertawa melihat orang lain bekerja sebagai penyapu jalan, ketika teman tak juga menikah atau belum mendapat keturunan?
Ingatlah saat kita sedang congkak,dan diatas itu semua,kita sedang congkak dihadapan Penguasa Semesta yang juga memberikan kita apa yang ada saat ini.
Penyapu jalan mendapat rejekinya dari sampah di jalanan. Jodoh ada di tangan Tuhan seberapapun kita memaksakannya. Anak adalah jiwa yang diputuskan Tuhan untuk dititipkan pada manusia tertentu.
Ada hal-hal yang menjadi keputusan Tuhan mengapa Ia menerapkan demikian. Dan manusia,sama sekali tidak berhak memberi penghakiman. Bahkan tertawaan.

Tulisan ini pengingat penulis sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar