Minggu, 12 Agustus 2012

Toleransi Kebahagiaan

Suatu malam Senin, imajinasiku terserap ke masa lampau, saat aku masih berumur 9 tahun. Om Budi yang kusayang meninggal. Dalam arti sebenarnya. Sebelumnya ia sakit dan pekerjaannya sebagai engineer muda di salah satu operator telekomunikasi waktu itu amat menyedot kesehatannya. Aku amat mengidolakan Om Budi. Salah satunya karena ia terlihat keren di mataku. Saat teman-temanku masih bergelut dengan kertas gambar, ia sudah memasukkan kosakata "internet" dalam kamusku. Ia juga terus mendorongku menjadi petualang sejati dengan memberikan aku sebuah tas ransel hijau besar dan buku tulis buah tangannya dari negeri paman Sam. 

Ia meninggal. Aku mengenangnya hingga tulisan ini terpublikasi. Aku melihat wajahnya yang amat teduh. Aku ingin memeluknya meski ia sudah dalam balutan kain putih berbercak merah darahnya. Seseorang entah siapa di belakangku, berbisik pelan sembari memeluk bahuku. "Allah sayang Om Budi, Om Budi sudah bahagia sekarang." Saat itu aku lega bukan kepalang. Aku yang belum memahami prinsip bahagia , ternyata melegakan kepergian Om Budi begitu rupa, dengan kepercayaan bahwa ia sudah berada di tempat yang membuatnya bahagia, meski aku sendiri luluh berantakan.

Namun aku bahagia karena mengetahui ia bahagia. Hal yang sama terus kudengungkan saat aku ingin melihat orang yang kusayang berbahagia. Meski bukan aku alasan dibalik perasaan itu. 

Klise. Naif. Bodoh. Tapi itu nyata dan seharusnya itu terjadi.

Aku melihat bagaimana banyaknya orang saling memaksakan diri untuk menjadi alasan bahagia orang lain. Padahal itu salah. Jika orang lain berbahagia dan kamu menjadi penyebabnya, maka kamu juga akan merasakan hal yang sama. Jika ia berbahagia dan bukan kamu penyebabnya, seharusnya kamu sadar dan menerima dengan kerelaanmu. 

Bukankah toleransi kebahagiaan itu indah?:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar