Rabu, 21 November 2012

(#1) Resign,The Life Style : Anak Pak Becak

Bapak tua menarik becak kesusahan. Sepertinya seluruh tenaganya dipakai untuk mengayuh becak merahnya itu. Dalam batinnya, ia berucap syukur bahwa anaknya, yang ia gadang-gadang menjadi insinyur telah lolos uji seleksi di sebuah perusahaan telekomunikasi di Ibukota. Ia berbisik terima kasih pada Sang Khalik bahwa mungkin ia tak perlu menarik becak terlalu keras lagi karena anak bungsunya mungkin akan terbantu biaya SPP-nya oleh sang kakak. Mungkin ia juga akan bisa menyaksikan pernikahan anak sulungnya itu, dan duduk di teras rumahnya yang sempir sebagai kakek kelak. Bisikan-bisikan yang membuatnya tersenyum-senyum senang sepanjang tanjakan dimana nafasnya satu-satu.

Di sebuah rumah yang tampak renta termakan usia, sang ibu sedang berujar pada anak perempuan kecilnya, sembari menyisiri rambut basah anak itu, bahwa ia harus tumbuh menjadi gadis rajin yang pintar dan tidak nakal. Bahwa ia harus menjadi seperti kakaknya, yang kini telah menjadi pegawai sebuah perusahaan telekomunikasi ternama di Ibukota sana. Sang anak perempuan yang bergigi ompong itu mengangguk. Antara mengerti bahwa ia harus rajin dan pintar, dan apa yang dimaksud perusahaan oleh ibunya.

Sinar matahari siang itu terasa menggigit kulit. Seorang pemuda terlihat sedang berpeluh hebat. Kulitnya yang berwarna coklat terang tampak mengkilap karena keringat dan pantulan sinar matahari. Ia hanya memakai kaus singlet putih yang tampak masih baru. Kemeja birunya tersampir dipagar besi. Ia tengah sibuk menggelar kabel di area sebuah tower pemancar. Sesekali ia tampak sibuk menjawab telepon yang berdering seakan tanpa putus. Sesekali ia menjawab dalam bahasa Inggris, sesekali bahkan dalam bahasa Jawa.

Sembari memasang kabel disekitar perangkat tower itu, ia teringat bagaimana bahagianya bapak, ibu dan adik perempuannya saat diberi kabar bahwa ia lolos ujian untuk bekerja. Betapa ia juga bahagia mendengar kabar itu sendiri, dan jauh lebih berbahagia melihat rupiah yang ditawarkan padanya, meski ia juga tak begitu paham mengapa ada perusahaan memberinya  gaji sebanyak itu. Ia teringat bagaimana dulu ia kuliah dan menghabiskan seluruh tabungan bapaknya yang pengemudi becak itu. Ia ingat bagaimana saat akan mengerjakan skripsi, ibunya terpaksa tidak berdagang karena modalnya telah dipakai untuk membayar skripsi. Dan ia seperti berkaca sekarang, kebahagiaan orangtuanya dan adik kecilnya itu semu, karena apa yang ia lakukan saat ini, tak lebih daripada kuli bangunan.
Ia sadar ia dibayar besar untuk menjadi sarjana yang bersedia bekerja sebagai kuli telekomunikasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar