Selasa, 02 Juli 2013

Saat Aku Menatap Aku

Di kamar kosku yang luas itu (yang sewajarnya diisi 2 orang) aku tidak punya cermin besar. Hanya ada cermin seukuran separuh wajah yang kugantung didekat televisi. Dari kecil memang tidak terlalu suka bercermin,dan memulas wajah,walau tampaknya hal itu sudah jadi kemestian bagi wanita apalagi saat ini. Hari ini aku coba menatap diriku sendiri didalam cermin. Dan itu yang membuat aku sampai kantor pukul 9.

Aku memandang mataku. Sudah berapa lama aku mengabaikan tatapan mataku sendiri? Sepertinya sudah lama sekali. Dulu aku pernah bercermin,saat usiaku 17 tahun dan sedang bersiap sholat Idul Fitri. Aku menatap mataku sendiri dan benar-benar menatap,lalu aku kaget. Tahukah, mataku itu seperti mata orang menangis. Bedanya,kalau orang menangis,maka matanya akan tampak merah dan seperti ada genangan air didalamnya,berkaca-kaca. Nah mataku,seperti mata orang menangis tanpa efek merah. Jadi seperti ada genangan air,berkaca-kaca dan kalau orang memperhatikan betul,mereka pasti akan bertanya "Kamu habis nangis ya?". Padahal enggak.

Sudah beberapa kali aku mendapat pertanyaan serupa,dan aku tidak memperhatikan. Cermin hanya kupakai untuk merapikan kerudungku dan sudah. Mungkin aku kelewatan dalam hal ini.

Pagi ini,menghabiskan sekira 30 menit untuk mengobrol dari mata-ke mata (karena kalau lihat mata,cerminku tidak bisa menampung pantulan mulutku). Setiap hari aku melihat mata orang lain saat bicara dengan mereka,dan hari ini aku melihat mataku sendiri.

Aku bertanya apa yang aku mau padanya. Dan ia cuma menjawab ia ingin bahagia. Aku bertanya apakah ia sudah bahagia. Ia bilang ia bahagia karena sudah menuruti kata orang tua. Tapi apakah ia bahagia. Ia berkeras ia akan bahagia dengan cara itu. Aku memojokkannya dan berkata apakah ia benar-benar bahagia dengan jalan yang ditempuh. Ia menjawab tidak. Lalu apa yang membuat ia bahagia. Ia berucap,bahwa bahagia itu sederhana. Aku bertanya mengapa aku tidak bisa begitu. Ia menjawab sebenarnya untuk bahagia adalah dengan merasa lega,melihat dunia. Aku bilang padanya bahwa aku tak mengerti apa maksudnya. Melihat matanya,aku ingat diriku sendiri bahwa di suatu hari ada seorang anak yang punya banyak mimpi dan itu termasuk menjadi insinyur telekomunikasi persis seperti pamannya,dan memiliki sebuah rumah di dekat sawah,lalu punya perpustakaan, membangun TK, berdandan rapi,punya suami yang bahagia,tidak harus punya anak,berjalan keliling dunia,menulis buku dan membantu orang lain. Di suatu hari anak itu telah mencapai beberapa dan di sebuah hari pula,anak itu berhenti bermimpi hingga saat ini. Entah ia merasa sedang berjalan di mimpi orang lain, entah ia kehilangan mimpinya,entah mimpinya dicopet keadaannya.
Entah bagaimana, ia tersesat. Ia membutuhkan pertolongan, bukan dari manusia lain yang makin membuatnya terjepit dan semakin menguap. Ia hanya harus mengulurkan sujudnya lebih lama untuk bercakap dengan Sang Maha,tepat setelah ia menemui dirinya sendiri didepan cermin pagi ini.

Berhadapan dengan diri sendiri ternyata sangat menyeramkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar