Sabtu, 06 Juli 2013

(ShortStory) DEMI FATWA


Senja mendulang sepi dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Lelaki itu memelukku amat jauh. Menyentuh titik terdalam dari tangisku yang tak dapat kutahan lagi. Aku bergelora, aku bergairah, aku marah dan aku sangat ingin menikam jantungku sendiri. Setidaknya berusaha untuk menghentikan debar yang selalu datang tiap saat. Bukan, bukan karena aku adalah raga yang diisi nyawa dan jantungku seharusnya berdebar pertanda kehidupan. Tetapi karena amarah yang tak sempat lagi diluapkan sebelum kedatangan berikutnya.
Aku ingin menghela napasku dan bertanya, bagaimana bila aku berada diantara langit-langit Tuhan diatas sana atau dibawah sini. Aku pun tak tahu dimana itu berada. Aku hanya berandai-andai dan membiarkan pikiranku menerawang mengingat bahwa sebelum aku jatuh ke bumi, aku tak ingat aku pernah ada diantara lelangit itu.
Lelaki itu memekik. Aku membiarkan ia merasa menjadi raja di bumi. Setidaknya yang aku tahu ia takkan pernah jadi raja di kolong langit milikNya. Biarkan saja dulu ia menjadi raja disini, dan aku adalah sang permaisuri, bisa juga sang gundik, atau sang perempuan binal yang menyewakan organ penjepit bagi para lelaki yang menyukai lendir tubuhku.
Kisah ini memang menjijikkan. Memang dahsyat seni olah tubuh antara dua manusia itu. Tidak perlu banyak usaha untuk berlari kecil tiap pagi di taman kota, manusia akan selalu menghasilkan keringat tiap kali ia bersedia untuk memberikan geliat tubuhnya bagi manusia lain.
Kadang aku tak mengerti mengapa orang begitu sulit menjaga cinta mereka. Aku mencintai manusia lain, dalam versiku. Aku mencintai ibuku. Aku mencintainya dengan cara memberikan semua yang ia inginkan. Aku cium tangan dan pipinya yang mulai menua. Aku memberinya bingkisan yang kurasa ia suka, aku mempersembahkan baginya karir yang ia ingin aku jalankan.  Aku ingin berbakti pada ibuku dan itulah yang aku rasa aku bisa lakukan sejauh ini. Aku tahu aku takkan pernah mampu membalas jasanya karena telah memelukku selama 9 bulan setiap detiknya. Kemudian ia mengejan dan mengeluarkan banyak darah dan nyawanya hampir terlepas dari raganya yang rapuh demi aku. Lalu dengan segala upayanya, ia bekerja keras mendapatkan uang demi membesarkan aku menjadi seperti sekarang. Aku tahu aku takkan bisa membantah apapun tentang itu dan memang tak ingin. Maka aku hanya bisa mencoba menjadi anak yang selalu mengangguk untuknya. Juga bapakku. Bapakku yang dulu pernah meneror ibuku dengan jiwanya yang labil dan pemarah. Bapakku yang menyayangi aku dengan cara memaksaku belajar keras hingga aku menjadi lebih pintar dari teman-teman sekelasku. Bapakku yang rela berbuat apapun demi aku. Maka aku juga mencintainya karena itu. Aku menikah karena bapakku. Dan itulah yang bisa kuperbuat baginya. Meski semua jasa kedua orangtuaku tadi takkan pernah mungkin kubalas meski dengan darahku sendiri.
Disinilah aku. Amarah belasan tahun terpendam dalam sekali teriak. Setidaknya aku selalu punya alasan berteriak saat aku bergumul dengan manusia lain. Orang takkan menyalahkan aku saat aku berteriak. Bayangkan kalau aku berteriak saat aku di pantai atau di gunung. Semua orang akan tahu bahwa aku sedang tertekan. Dan bukan itu yang ingin kutunjukkan pada dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar