Sabtu, 06 Juli 2013

(ShortStory) DURASI


Aku melongok menyusuri deretan kertas yang ditumpuk begitu saja diatas mejaku. Pekerjaan lemburan lagi,batinku. Jam di laptopku menunjukkan pukul 6 sore. Dan seharusnya malam ini aku bergegas pulang demi menemui kekasihku. Tapi kalau aku melakukannya, bosku akan kalap dan entah bagaimana ia akan mengeluarkan desis ularnya yang berbisa.
Suara Bruno Mars dalam prosa Liquor Store Blue-nya membangunkan lamunanku. Oh well, aku mengenal siapa yang meneleponku. Haruskah aku mengangkatnya? Aku selalu merasa jantungku berdebar tiap nomer tersebut muncul di layar ponselku. Aku seperti berada di dua dunia, menjadi dua pihak yang berlawanan. Salah satu, entah suara siapa bilang aku tak perlu mengangkatnya. Suara satu lagi,mungkin suara hati berbisik, aku harus mengangkatnya. Seperti mendadak muncul seorang ustdaz yang berceramah bahwa tidak boleh durhaka pada orang tua. Lalu si ustadz yang lain juga muncul dengan sorban hitamnya, berkata,bahwa tidak boleh bersikap tidak baik pada orang tua. Sementara mengangkat telepon adalah kewajiban, dan bersikap baik juga adalah kewajiban. Padahal aku sendiri tak terlalu bersemangat dengan kewajiban itu. Peduli apa,kataku.
Akhirnya aku mengalah. Aku mengangkat telepon tadi.  Dan sepertinya otak bawah sadarku memasang sendiri mesin penjawab telepon tertentu, secara otomatis aku menjawab satu demi satu pertanyaan dengan sangat sistematis.
“Sudah makan?”
“Belum”
“Masih di kantor?”
“Masih”
“Disini hujan deras dan sesiangan tadi panas menyengat”
“Hmmmm”
“Gimana pekerjaan?”
“Baik”
“Jam berapa pulang?”
“Belum tahu”
“Ada pesan apa?”
“Nggak ada”
“Ya sudah, hati-hati ya”
“Ya”
Dan durasi panggilan yang tertera di ponselku adalah 40 detik. Semakin hari rasanya durasinya makin pendek.
Aku tidak mengingat dengan jelas mengapa selama bertahun aku bekerja di ibukota dan hidup sendiri, rasanya durasi telepon tadi memendek dari hari ke hari. Aku menghitung dulu durasi telepon itu bisa selama 120 menit. Dan pada tahun kelima aku di Ibukota, durasi terakhir telepon itu hanya sepanjang 44 detik.
Aku melongok ke jendela dekat mejaku. Mencari ruang kosong ditengah pendar lampu kendaraan yang menyemut dibawah sana. Tidak ada ruang kosong. Ruang kosong itu didalam hatiku. Menemani jantung yang selalu berdebar. Dan aku mengingat tiap saat hilangnya durasi telepon dari ibuku.
Adalah saat aku dipaksa masuk untuk bekerja disebuah institusi pemerintahan di kota kelahiranku. Aku benci itu. Aku sudah melalui banyak paksaan dalam hidupku, terutama saat aku harus memilih kuliah di fakultas teknik. Dan atas nama patuh pada ibu, aku mengikutinya. Dan saat aku tahu aku gagal, aku seperti sedang di puncak dunia. Bahagia. Ibuku, terus menerus menenangkan dirinya bahwa apa yang kujalani saat ini adalah kebaikan. Ia menenangkanku yang sebenarnya ia lakukan adalah menenangkan dirinya sendiri.
Adalah saat aku pulang ke rumah dan terasa seperti sedang menghadap bosku yang berbisa itu. Pertanyaan tentang bagaimana kemajuan yang terjadi dalam hidupku terus berdengung bahkan hingga waktu makan malam tiba.
Adalah saat aku diputuskan oleh kekasih yang amat kucintai. Ibuku berkata itu hal biasa dan sebaiknya aku tidak memikirkannya.
Adalah saat aku memilih karirku sendiri. Dan ibuku masih terus khawatir tentang masa depanku.
Aku sudah tidak mengingat betapa banyak hal yang menjadi pengurang durasi komunikasi antara aku dan ibuku.
Air mataku menitik. Meski durasi itu makin berkurang seiring usia ibuku, aku tetap selalu berbisik dalam hatiku,memohon pada Tuhan yang Maha Baik, untukku memberi waktu lebih agar aku bisa membahagiakannya.
Aku mengusap bulir air di pipiku. Mataku kembali terpaku ke seluruh pekerjaan lemburku.
Bruno Mars kembali bernyanyi dan aku membiarkannya terus menerus bernyanyi. Membiarkannya bosan dan hingga mati sendiri.
Namun Bruno Mars selalu bernyanyi tiada henti. Kulihat nomernya. Masih nomer yang sama.
Aku melenguh. Selalu begitu. Ibuku selalu mengulang teleponnya.
Ada satu hari yang kuingat ,saat itu aku sedang dalam pertemuan penting dengan bosku. Ibuku menelepon. Kuangkat dengan cepat, berharap itu adalah berita penting entah apa.
“Halo bu”
“Halo, kamu mau baby doll warna ungu buat tidur ya? Lagi ada diskon ini, murah”
“Oke bu”
“Kalau kaus kaki warna warni mau?”
“Oke bu”
“Baby doll-nya ada warna pink, apa beli dua ya?”
“Oke bu, aku lagi meeting bu,sebentar ya, nanti aku telepon”
“Oke”
Selesai. Ibuku selalu begitu. Dan kuputuskan kuangkat telepon ibuku lagi.
“Halo bu”
“Ibu koma, masuk rumah sakit,pulang cepet” . Suara adik laki-lakiku terasa berat.
Dan kepalaku berat. Sangat berat, terberat yang pernah kurasakan dan pandanganku makin gelap.
Namun tubuhku ringan. Aku merasa bertemu ibu di ujung sebuah jalan entah dimana. Ibuku berkata
“Baik-baik ya nak. Karena Ibu sayang kamu”
Aku memegang erat tangan ibuku didepan seberkas sinar yang amat terang, besar dan menyilaukan.
Bersimpuh menangis aku memohon
“Tuhan, beri aku sedikit durasiMu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar